Langsung ke konten utama

Menjual Dunia

 Imam Agus Taufiq




Manusia adalah mahkluk yang unik dan komplek,  memiliki hasrat dan keinginan, cita-cita serta hal baru dan ekonomi kebahagiaan. Manusia model apa yang tidak ingin bahagia dengan mempunyai harta? Dan manusia bagaimana yang tak bercita-cita mempunyai tempat tinggal luas dan nyaman? Dan siapa yang tak mau kebutuhan tercukupi? Siapa yang menolak memiliki penampilan yang membuat orang menjadi kagum? Itulah semua dari keindahan dunia yang ada pada keinginan setiap orang, termasuk kita tentunya. 

"Ad-dunya khadirah khulwah". Dunia itu hijau, manis. Begitulah sebutan Baginda Agung Muhammad SAW tentang keberadaan dunia. Manis, lezat, indah, menarik, memikat, memukau. Hal apalagi yang bisa menyifati kenikmatan dunia. Kenikmatan yang ada penggalan hidup yang pendek, ketimbang kehidupan akhirat yang panjang tiada batas. Kelezatan yang ada potongan perjalanan hanya sebentar dibandingkan perjalanan jauh yang menembus waktu. Allahumma laa 'aisya illal aisyul akhirah. Yaa Allah, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.

Biarlah keinginan itu ada, karena memang sudah menjadi garis fitrah yang Allah SWT ciptakan untuk manusia. Dalam kitab Fi Zilalil Qur'an, Sayyid Quthb menguraikan panjang lebar tentang firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 14. Menurut uraian beliau, ayat itu menunjukkan secara fitrah manusia memang memiliki kecenderungan pada wanita, anak-anak, perdagangan, emas, perak, kendaraan, dan sawah ladang. Namun beliau menuliskan dua rambu-rambu penting terkait hamparan syahwat yang Allah SWT berikan.

Pertama, Allah SWT menghamparkan syahwat-syahwat itu adalah untuk perjalanan sementara manusia di dunia, agar diposisikan seimbang, pertengahan, dan tidak berlebih-lebihan. Kedua, syahwat ini dihamparkan Allah SWT untuk seseorang mukmin tidak lebih untuk membantunya melakukan ketaatan pada Allah SWT, beribadah, menenangkan batin, dan agar dikendalikan untuk menembus kehidupan yang pendek dengan aman hingga kehidupan lain yang abadi.

Maka wajar jika orang menginginkan kaya. Selama keinginan itu tidak melebihi kecintaan pada akhirat, dan selama kekayaan itu tidak menghalanginya untuk melakukan ketaatan dan keshalihan. Sebaliknya, wajar saja jika akhirnya ada di antara kita yang tak berlimpah harta . Asal keadaan itu tidak menjadikan kita lupa akhirat dan tidak menjauhkan kita dari ketaatan dan keshalihan. 

Ingatlah, sebenarnya keinginan akhiratlah yang harus kita miliki. Dengan demikian, kaya, miskin, senang, susah tidak akan mengganggu ketundukan kita kepada Allah SWT dan kebahagiaan di akhirat. Itulah alasan kenapa para salafusshalih sering menganjurkan kita untuk lebih mengutamakan akhirat ke timbang dunia. Ibnu Abbas R. A bahkan mengistilahkan dengan menjual dunia untuk akhirat. "Wahai Ibn Adam" juallah duniamu dengan akhiratmu. Pasti engkau akan memperoleh untung dari kedua-duanya. Jangan jual akhiratmu dengan duniamu, karena dengan begitu engkau akan mengalami kerugian dari kedua-duanya".

Menggantungkan keinginan keakhiratan juga menjadi ciri para pendahulu kita. Sebagaimana perkataan Ibnu Mas'ud RA suatu hari berkata pada sahabatnya. "Kalian mungkin saja lebih banyak puasa, lebih banyak melakukan shalat, dan lebih banyak melakukan ijtihad ketimbang sahabat Rasulullah SAW. Tetapi tetap saja mereka dahulu itu lebih baik dari kalian. "Para sahabat bertanya, "Bagaimana mungkin bisa demikian, wahai Abdurrahman?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Mereka dahulu lebih zuhud dan lebih mencintai akhirat". 

Menomer satukan akhirat bukan berarti menolak jabatan dan kekayaan. Hasan Al-Bashri juga orang zuhud, meski ia seorang saudagar kaya. Indah sekali apa yang dikatakan Hasan Al-Bashri dalam  hal zuhud, "Zuhud itu bukan di dunia dengan mengharamkan yang halal, menyia-nyiakan harta, tetapi lebih meyakini apa yang ada pada Allah SWT ketimbang apa yang ada ditanganmu".

Marilah diam sejenak. Renungkan bagaimana asal kejadian kita di dunia. Lalu bagaimana keadaan kita saat pertama ada di dunia. Kemudian bagaimana perguliran waktu demi waktu, hingga akhirnya kita ada di dunia  ini. 

Kita bukan apa-apa. Dan tidak sebagai apa. Kita hanya ciptaan Allah SWT yang sangat mutlak tergantung kasih sayang dan karuniaNya. Muhammad Al-Qurazi, yang sangat dekat dengan khalifah kelima Umar bin Absul Aziz pernah bercerita, "Aku mendatangi Umar bin Abdul Aziz saat ia jatuh sakit menjelang wafatnya . Aku menatapnya lama sekali. Ia bertanya padaku, Yaa Ibnu Ka'ab, kenapa engkau melihatku tajam sekali? Aku mengatakan, Aku terkejut melihat kondisi badanmu dan perubahan warna kulitmu. Ia mengatakan, "Bagaimana jika engkau lihat aku tiga hari setelah aku di dalam kubur? Itulah kita. Yang sama sekali tak layak berbangga dan berkuasa. 

Mari kita berjalan terus, apapun kondisi hidup yang kita lalui. Jangan jadikan keinginan kita ada dalam hidup di dunia, tapi sebaliknya tanamkan keinginan kita sepenuhnya pada akhirat. Jangan salah meletakkan cita-cita. Karena salah meletakkan cita-cita akan membuat diri kita bergantung harta, bergantung jabatan, bergantung ambisi yang tak ada habisnya. Inilah sumber ketidak tenangan dan awal segala kemaksiatan. 

Ibnul Qayyim bahkan memandang keadaan itu sebagai akar kemaksiatan yang paling pertama. Kata beliau, akar kemaksiatan besar atau kecil ada tiga. Pertama ketergantungan hati pada selain Allah SWT, kedua tunduk pada kemarahan, ketiga dikalahkan kekuatan syahwat. Beliau menguraikan puncak ketergantungan hati pada selain Allah SWT adalah syirik, puncak kemarahan adalah membunuh, dan puncak dikalahkan oleh syahwat adalah zina. 

Semoga kita tidak terjerumus pada tiga jurang kehancuran itu. Dan kita tetap berpegang teguh pada tali Agama Allah. Saling membantu dalam hal kebaikan dan menasihati dalam hal kebenaran agar tidak jatuh ke lembah kenistaan. Semua harus dikerjakan dengan bertahan pada rel kebenaran, karena perjalanan kita di dunia ini tidak lama dan sebentar. Kita usahakan berlomba-lomba dalam kebaikan untuk bekal kehidupan akhirat kelak yang lebih abadi dan selamanya. Dan kita jadikan dunia ini untuk ladang kebaikan menuju kebahagiaan akhirat. 



Kalidawir, Tombo Ati Rabu Legi 2 September 2020.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setetes Hikmah Isra' Mi'raj

 Oleh: Imam Agus Taufiq Setiap tahun umat Islam seluruh penjuru dunia memperingati Isra' Mi'raj pada tanggal 27 Rajab penanggalan hijriyah. Moment Isra' Mi'raj merupakan peristiwa penting nabi Muhammad menerima langsung dari Allah swt perintah shalat lima waktu sehari semalam.   Kewajiban shalat lima waktu sehari semalam merupakan ibadah mah doh(langsung) untuk berkomunikasi dengan Allah swt. Shalat lima waktu merupakan amal pertama kali yang dihisab pada hari kiamat. Ketika shalatnya seorang hamba baik maka termasuk beruntung dan sukses, dan ketika shalatnya hamba jelek/rusak maka termasuk hamba yang gagal dan rugi.  Selain kewajiban shalat lima waktu, ternyata ada setetes hikmah dari perjalanan Mi'raj nabi Muhammad mulai dari langit 1 sampai langit 7 untuk pedoman seorang hamba bisa wushul dengan Allah swt. Pertama, ketika nabi Muhammad berada di langit satu bertemu dengan nabi Adam yang merupakan abu al Basyar(bapak manusia) cikal bakal manusia ada di muka bumi. ...

Muharram Berkah Muhasabah dan Hijrah

Oleh:  Agus Taufiq Alhamdulillah tahun ini masih diberi kesempatan menjumpai tahun baru Hijriah. Momentum tahun baru bukan sekedar ceremonial pergantian tahun kalender Hijriyah, tapi juga momentum spiritual yang penting untuk terus melakukan muhasabah (intropeksi diri) dan hijrah (perubahan menuju kebaikan).  Muhasabah dan hijrah hal yang penting untuk diwujudkan dengan penuh perjuangan dan niat yang tulus. Dalam Al Quran disebutkan tentang perintah muhasabah: يأيها الذين آمنوا اتقوالله ولتنظر نفس ما قدمت لغد واتقوالله ان الله خبير بما تعملون. Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperlihatkan  apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.  Muhasabah berarti menghitung dan evaluasi sejauh mana amal yang kita lakukan setahun. Apakah amal baik dan buruk seimbang, atau amal baik unggul dan sebaliknya. Muharram menga...

Makna Taubat Sejati

Oleh: Imam Agus Taufiq Kamis, 26 Desember 2024 sekitar pukul 12.45 WIB tiba-tiba ponsel saya  berbunyi. Mendengar itu, saya bergegas menuju ponsel yang berada di dekat computer. Tanpa basa-basi, saya segera mengangkat telpon. Ternyata telpon itu, salah satu kolega penyuluh kecamatan yang meminta tolong untuk menggantikan kajian rutin IMUD (Ibu-ibu muda). Kebetulan, kolega saya tidak bisa hadir dengan alasan ada kabar duka dari salah satu keluarganya. Sehingga harus mencari badzal (pengganti) dalam waktu singkat di kajian rutinnya. Saya pun akhirnya tidak bisa menolak, dan  mengiyakan mendatangi kajian rutin tanpa berpikir panjang apa nanti  kitab yang dikaji. Sebelum menutup telpon, kolega saya mengatakan"Nanti yang dikaji kitab Minhaj al Abidin bab makna taubat sejati" mendengar itu, saya harus segera bergegas mencari kitab dan membuka sebentar ala kadarnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB, Saya segera berangkat di majlis taklim binaan kolega saya. Tiba di lo...