Imam Agus Taufiq
Setelah tragedi runtuhnya musola pondok pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo, ada anggapan bahwa runtuhnya bangunan tersebut karena yang mengerjakan santri ro'an karena dapat hukuman. Terlepas dari masalah itu, saya tidak mau memancing di air yang keruh.
Entah dari mana kata ini berasal dan siapa yang
pertama kali menggunakan istilah ini dalam dunia pesantren. Beberapa kali kami
mencari ma’na dan asal kata ini, namun tetap saja nihil. Satu-satunya perkiraan
sebagaimana dilansir Suara Pesantren, bahwa ro’an berasal dari bahasa
Arab “tabarraka-yatabarraku-tabarrukan”. Jadi ro’an di sini adalah hasil
penggalan dua suku kata akhir dari mashdar (tabarrukan). Tabarrukan sendiri
mempunyai arti mengharap kebaikan, kemudian kata ini mengalami penyusutan
menjadi Rukan atau Ru’an kemudian lambat laun menjadi Roan. Sedikit jauh dari
kemiripan suku kata dan adanya pembuangan huruf memang, tetap kami tuliskan
karena sementara ini hanya penjelasan itu yang kami temukan.
Ada juga yang berpendapat jika ro’an adalah kata yang berasal dari bahasa arab, yakni ro’yun. yang artinya pendapat, gagasan, opini. Karena gotong-royong yang dilakukan oleh santri di pesantren biasanya bukan atas perintah, tetapi atas kehendak dirinya sendiri. Jika ia berpendapat bahwa sesuatu itu perlu dibenahi, maka secara naluri si santri dengan sendirinya dan senang hati akan membenahi atau mencari solusinya tanpa menunggu perintah.
Pada kenyataannya para santri tidak
mempermasalahkan arti dan istilah ro’an, mereka selalu menjadikan nama
lain dari gotong-royong ini sebagai tradisi di pesantren masing-masing,
khusunya di hari-hari libur. Sebenarnya jika kita perhatikan, ada banyak sekali
manfaat dan nilai yang terkandung dalam tradisi ini. Diantaranya adalah :
Pertama, melatih santri untuk berjiwa sosial
Santri memang harus mempersiapkan dirinya untuk kembali ke masyarakat kelak, sehingga membekali diri mereka masing-masing dengan keilmuan adalah sebuah keniscayaan. Tetapi menumbuhkan solidaritas dan jiwa sosial juga tidak kalah penting, sebab mereka harus mampu berbaur dengan masyarakat dalam keseharian. Nah, tradisi ro’an kami rasa cukup mendidik dan mengajarkan mereka akan Pentingnya solidaritas dan kepedulian sosial bermasyarakat kelak.
Kedua, menanamkan sifat sabar dan ikhlas
Sabar dan Ikhlas adalah sifat yang membutuhkan
latihan-latihan tersendiri, dengan arti ia bukanlah sifat dari lahir atau
datang begitu saja. Dengan ro’an inilah mereka dilatih untuk sabar
dalam tolong-menolong juga ikhlas dalam meluangkan waktu dan tenaga.
Ketiga, penanaman karakter peduli lingkungan
Santri yang menjalankan tradisi roan akan peka terhadap kebersihan lingkungan serta selalu menjaga diri dari keinginan untuk merusak lingkungan. Tradisi roan erat kaitannya dengan ajaran islam tentang kebersihan. Harapannya jangan hanya slogan “Kebersihan dari iman” itu sebatas slogan saja, tetapi benar – benar menyadarkan para santri bahwa inilah sebenarnya ajaran Islam yang harus dijalankan.
Bersambung,,,,
Komentar
Posting Komentar