Oleh : Imam Agus Taufiq
Puasa sudah berada pada hitungan ke 23, pertanda bahwa Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan kita. Jika kita introspeksi pada perjalanan Ramadhan, maka akan muncul pertanyaan, apakah isi kegiatan Ramadhan kita? penuh suasana Ibadah, atau penuh dengan kegiatan beribadah mendekatkan diri kepada Allah SWT?
Jika seekor kuda pacu akan mempercepat larinya saat mendekati finish, apakah kita juga semakin bersemangat beribadah saat Ramadhan berada pada penghujung bulan, atau justru semangat belanja kebutuhan lebaran dengan meramaikan Mall dan menjadikan masjid berkurang jama'ahnya?
Puasa yang banyak orang alami adalah kategori menjalani rutinitas tiap tahun, belum ada perubahan pikiran dan perbuatan menuju lebih baik yang tercermin sebagai bentuk capaian pelaksanaan puasa. Hal ini terjadi karena kategori puasa kita masih sebatas memindah jadwal makan dan minum yang biasa dilakukan siang hari menjadi pindah kemalam hari. Bahkan kategori menunya malah meningkat secara kualitas dan kuantitas.
Sering kita jumpai hiruk pikuk puasa hanya pada sekedar belanja mempersiapkan menu berbuka, dan menu tasahur. Belum lagi yang sering mengadakan acara buka bersama ditempat-tempat kuliner bersama komunitas dan kelompoknya. Bukan berarti hal tersebut tidak baik, hanya saja, ada subtansi yang hilang dari maksud berpuasa, khususnya waktu mustajabah menjelang berbuka yang semestinya kita manfaatkan untuk berdoa meminta hajat dunia dan akhirat. Bahkan ada pula yang asik dengan acara buka bersama, tapi kehilangan waktu Maghriban karena tempat berbuka tak memiliki mushola yang memadai atau saking ramainya antrian memanjang sampai melewati Isya'. Kalau orang Jawa bilang "mburu uceng, kelangan deleg", mengejar kesunahan, tapi meninggalkan keutamaan dan kewajiban.
Masih dilanjutkan pada malam harinya, yang semestinya malam Ramadhan dimeriahkan dengan tarawih, tadarus, dan majlis ilmu, justru berubah menjadi waktu belanja atau sekedar nongkrong di pusat keramaian. Seakan puasa adalah surga bagi pecinta shooping dan momentum melampiaskan nafsu berburu kebutuhan rutin harian dan lebaran.
Ramadhan berubah menjadi bulan memuaskan nafsu berburu kebutuhan, karena semua barang dagangan, akan tersedia membanjiri pasar dan toko di sekitar kita. Mulai kebutuhan sayuran saat berbuka, jajanan ringan pasca berbuka, kebutuhan sahur, kebutuhan jajan lebaran, kebutuhan merias rumah, kendaraan, perhiasan emas, sampai memperbaharui perabot rumah. Semuanya tumpah ruah saat puasa. Seperti layaknya iklan sirup dan iklan sarung, yang selalu keluar menjelang Ramadhan.
Tidak banyak yang bepikir, bahwa Ramadhan adalah bulan untuk membakar nafsu konsumeris dengan mengalihkan pada kesadaran bahwa masih banyak orang yang kesusahan dan kekurangan, sehingga dengan puasa, timbul gerak hati untuk peduli dan berbagi dengan sesama yang membutuhkan.
Sesekali perlu kita merenung bahwa hari kemenangan (hari raya) yang mau kita songsong adalah hari bertambahnya ketaqwaan kita. Bukan hari berpesta dengan hidangan serba ada dan busana serba baru. Bukan pula dengan desingan mercon yang menghamburkan uang jutaan rupiah. Dan sebagai indikator perubahan ketaqwaan adalah berubahnya pemikiran dan tindakan kita dari biasa saja menjadi luar biasa, seraya mengharap ridhoNya.
Bukan berarti sok paling baik dengan menyalahkan yang lainnya. Mari saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketaqwaan, sekaligus menjaga persatuan dan persaudaraan dalam bingkai kebangsaan negara kesatuan republik Indonesia. Perlu membiasakan muhasabah dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama sehingga puasa kita menjadi momentum membakar nafsu konsumeris hedonis menjadi jembatan menyatukan perbedaan.
Mari kita introspeksi dengan merenung, sembari menjawab pertanyaan berapa orang yang mendapatkan kemanfaatan dari kita selama Ramadhan? atau justru, banyak orang yang kita buat susah dengan fitnah dan berita palsu (hoax)? Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberikan kemanfaatan kepada sesama manusia lainya.
Puasa sudah berada pada hitungan ke 23, pertanda bahwa Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan kita. Jika kita introspeksi pada perjalanan Ramadhan, maka akan muncul pertanyaan, apakah isi kegiatan Ramadhan kita? penuh suasana Ibadah, atau penuh dengan kegiatan beribadah mendekatkan diri kepada Allah SWT?
Jika seekor kuda pacu akan mempercepat larinya saat mendekati finish, apakah kita juga semakin bersemangat beribadah saat Ramadhan berada pada penghujung bulan, atau justru semangat belanja kebutuhan lebaran dengan meramaikan Mall dan menjadikan masjid berkurang jama'ahnya?
Puasa yang banyak orang alami adalah kategori menjalani rutinitas tiap tahun, belum ada perubahan pikiran dan perbuatan menuju lebih baik yang tercermin sebagai bentuk capaian pelaksanaan puasa. Hal ini terjadi karena kategori puasa kita masih sebatas memindah jadwal makan dan minum yang biasa dilakukan siang hari menjadi pindah kemalam hari. Bahkan kategori menunya malah meningkat secara kualitas dan kuantitas.
Sering kita jumpai hiruk pikuk puasa hanya pada sekedar belanja mempersiapkan menu berbuka, dan menu tasahur. Belum lagi yang sering mengadakan acara buka bersama ditempat-tempat kuliner bersama komunitas dan kelompoknya. Bukan berarti hal tersebut tidak baik, hanya saja, ada subtansi yang hilang dari maksud berpuasa, khususnya waktu mustajabah menjelang berbuka yang semestinya kita manfaatkan untuk berdoa meminta hajat dunia dan akhirat. Bahkan ada pula yang asik dengan acara buka bersama, tapi kehilangan waktu Maghriban karena tempat berbuka tak memiliki mushola yang memadai atau saking ramainya antrian memanjang sampai melewati Isya'. Kalau orang Jawa bilang "mburu uceng, kelangan deleg", mengejar kesunahan, tapi meninggalkan keutamaan dan kewajiban.
Masih dilanjutkan pada malam harinya, yang semestinya malam Ramadhan dimeriahkan dengan tarawih, tadarus, dan majlis ilmu, justru berubah menjadi waktu belanja atau sekedar nongkrong di pusat keramaian. Seakan puasa adalah surga bagi pecinta shooping dan momentum melampiaskan nafsu berburu kebutuhan rutin harian dan lebaran.
Ramadhan berubah menjadi bulan memuaskan nafsu berburu kebutuhan, karena semua barang dagangan, akan tersedia membanjiri pasar dan toko di sekitar kita. Mulai kebutuhan sayuran saat berbuka, jajanan ringan pasca berbuka, kebutuhan sahur, kebutuhan jajan lebaran, kebutuhan merias rumah, kendaraan, perhiasan emas, sampai memperbaharui perabot rumah. Semuanya tumpah ruah saat puasa. Seperti layaknya iklan sirup dan iklan sarung, yang selalu keluar menjelang Ramadhan.
Tidak banyak yang bepikir, bahwa Ramadhan adalah bulan untuk membakar nafsu konsumeris dengan mengalihkan pada kesadaran bahwa masih banyak orang yang kesusahan dan kekurangan, sehingga dengan puasa, timbul gerak hati untuk peduli dan berbagi dengan sesama yang membutuhkan.
Sesekali perlu kita merenung bahwa hari kemenangan (hari raya) yang mau kita songsong adalah hari bertambahnya ketaqwaan kita. Bukan hari berpesta dengan hidangan serba ada dan busana serba baru. Bukan pula dengan desingan mercon yang menghamburkan uang jutaan rupiah. Dan sebagai indikator perubahan ketaqwaan adalah berubahnya pemikiran dan tindakan kita dari biasa saja menjadi luar biasa, seraya mengharap ridhoNya.
Bukan berarti sok paling baik dengan menyalahkan yang lainnya. Mari saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketaqwaan, sekaligus menjaga persatuan dan persaudaraan dalam bingkai kebangsaan negara kesatuan republik Indonesia. Perlu membiasakan muhasabah dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama sehingga puasa kita menjadi momentum membakar nafsu konsumeris hedonis menjadi jembatan menyatukan perbedaan.
Mari kita introspeksi dengan merenung, sembari menjawab pertanyaan berapa orang yang mendapatkan kemanfaatan dari kita selama Ramadhan? atau justru, banyak orang yang kita buat susah dengan fitnah dan berita palsu (hoax)? Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberikan kemanfaatan kepada sesama manusia lainya.
Kalidawir, 6 Juni 2019
Komentar
Posting Komentar