Agus Taufiq
Alhamdulillah bulan Ramadhan sudah kita lalui, Ramadhan memang bulan kawah candradimuka bagi manusia yang beriman untuk melaksanakan puasa sekaligus termasuk rukun Islam. Meskipun puasa yang kita lakukan termasuk kategori yang paling rendah dan puasanya orang awam tetapi tak menjadikan putus asa untuk menjadi orang yang bertakwa.
Setelah proses puasa mulai awal, tengah, akhir sudah kita lalui, kini saatnya kita menuju hari kemenangan. Hari kemenangan ditandai dengan menggemanya suara takbir di rumah, musholla, masjid pada malam hari raya. Alunan takbir, tasbih, tahmid tak lain adalah untuk mengagunggkan Allah SWT semata. Cucuran air mata mengiringi takbiran di malam hari raya teringat akan kasih sayang Maha Agung telah mengembalikan kita fitrah atau suci sebagaimana manusia lahir dari rahim sang ibu.
Begitu juga cucuran air mata dan isak tangis terharu ketika malam hari raya tiba, teringat akan jasa orang tua. Apalagi ketika orang tua sudah pergi meninggalkan kita tak lain hanya bisa mendoakan dan memintakan ampun mereka. Tanpa jasa orang tua kita tak mungkin ada dan bisa seperti ini.
Ketika manusia kembali dalam fitrah dihadapan Sang Khaliq, saya rasa belum afdol kalau belum meminta maaf kepada sesama. Karena dosa sesama belum bisa terputus atau hilang sebelum saling bermaaf-maafan dengan berjabat tangan. Dan dosa yang paling banyak adalah dosa kepada keluarga, tetangga, dan lingkungan tempat kerja. Karena di situ kita saling berkumpul, bersinggungan, dan berinteraksi sosial.
Lantas, apakah ketika kita sudah fitrah cuma berleha-leha atau hari raya ini cuma ceremonial maaf-maafan atau agenda tahunan? Tentunya tidak. Setelah kembali fitrah sesuai namanya bulan Syawal yaitu peningkatan, kita harus bergegas untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Apalagi berkaitan dengan ihwal akhirat, maka carinya sekarang juga. Mumpung kita masih diberi kesehatan lahir maupun batin.
Mengingat bahwa tiga hal yang ada pada manusia tak bisa tergantikan atau diwakilkan. Mau tak mau kita harus menjalaninya sendiri, entah endingnya yang dapat juga kita sendiri. Tidak seperti genduri yang bisa diwakilkan atau lainnya.
Tiga hal ini, pasti semua akan mengalami dan merasakannya. Lantas apakah tiga hal tersebut? Pertama adalah tua, kita berharap dengan semakin usia bertambah maka harus semakin bertambah juga amal kebaikan kita. Tentunya, ilmu padilah yang harus kita praktikkan. Semakin tua, semakin merunduk dan menjadi. Jangan sampai semakin tua, kita berperangai seperti anak kecil. Tak sadar kalau usia udah tua tapi kelakuaanya masyaAllah.
Kedua adalah sakit, ketika kita sakit maka kita sendiri yang merasakannya dan mengalaminya. Mustahil yang sakit kita, orang lain yang merasakannya. Oleh sebab itu moment sehatmu sebelum sakitmu harus kita maksimalkan. Kita selalu berusaha melangkahkan kaki kita untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan dan berusaha dengan ucapan, tindakan, perilaku yang mencerminkan manusia yang bermanfaat kepada sesama.
Ketiga adalah kematian, sebelum melewati fase kematian, tentunya manusia pasti hidup. Ada kehidupan ada kematian. Makanya ada istilah hidupmu sebelum matimu. Dan kehidupan yang Allah berikan kepada kita, tentunya tak harus kita sia-siakan. Dan kehidupan kita pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Untuk itu, gunakan hidupmu untuk lebih bermakna untuk investasi akhirat. Sebagaimana yang dicontohkan ahli hikmah "Beramallah untuk urusan dunia seolah kamu hidup selamanya, dan beramallah untuk urusan akhirat seolah kamu mati esok."
Kalidawir, 27 Mei 2021.
Komentar
Posting Komentar