Oleh : Imam Agus Taufiq
A. Latar belakang
Akhir abad ke 19 merupakan momentum bagi kebangkitan dunia Islam. Kesadaran ini muncul setelah dunia Islam melihat perputaran roda sejarah berbalik: dunia barat maju dan dunia Islam terpuruk, bahkan Islam menjadi bulan-bulanan dunia barat yang Kristen itu. Dari realitas sejarah ini kemudian muncul gerakan yang mencoba untuk melakukan otokritik secara kritis dengan cara melakukan evaluasi sebab-sebab terjadinya perputaran roda sejarah yang berbalik itu.
Menurut Abdullah (1995:539) gerakan ini lebih mengemuka di hampir dunia Islam pada abad ke 20 dengan nama gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Tema sentral ide pembaharuan pemikiran
dalam Islam di atas terletak pada kata kunci I’adatu al-Islam, yakni keinginan masyarakat Islam untuk mengembalikan peran dunia Islam dalam percaturan global peradaban dunia, yang dulu pernah dilakukan Islam. Salah satu wujud dari I’adatu al-lslam itu adalah Tajdid al-fahm, yakni memperbaharui kembali cara pandang dalam menjawab problematika yang berkembang dengan kembali kepada al-Quran dan al-Hadis. Tajdid al-fahm ini dilakukan karena kemunduran dunia Islam di akibatkan penempatan qaul ulama abad pertengahan dijadikan rujukan utama dalam menjawab persoalan kontemporer sehingga yang terjadi kemudian adalah bias-bias dan kekakuan karena qaul itu sendiri muncul dan dirumuskan berdasarkan setting sosial oleh ulama ketika masih hidup. Adapun tema sentral gerakan untuk memulihkan dunia Islam adalah pemurnian akidah, ibadah dan semangat ijtihad di tengah masyarakat singkretik dan masyarakat yang berorientasi taklid.
Menjamurnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam seperti yang berkembang di dunia Islam di atas juga berkembang di Indonesia yang muncul pada awal abad ke-20, yang salah satunya adalah Persatuan Islam (PERSIS). Berangkat dari hal itu, maka penulis tergelitik untuk mengkaji tentang Persatuan Islam (PERSIS) dan usaha gerakannya.
B
A Sejarah berdirinya Persatuan Islam.
Pada permulaan abad ke-20, ketika rasa
nasionalisme bangsa Indonesia masih baru
tumbuh, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi bangsa Indonesia dalam
berhadapan dengan bangsa lain, bukan saja dengan pihak Belanda, tetapi juga
dengan orang Cina. Ingatlah sebab berdirinya organisasi Sarekat Dagang Islam
(1911, kemudian Sarekat Islam 1912) yang pada mulanya diarahkan sebagai reaksi
terhadap rencana politik pengkristenan dari Gubernur Jenderal Idenburg serta
menghadapi para pedagang Cina. Dengan ikatan terhadap Islam seperti ini berarti
juga bahwa pada sejak tahun 1911 organisasi ini dapat menyebar ke seluruh
penjuru tanah air; dari Aceh di sebelah Barat sampai ke Maluku di sebelah Timur
yang meliputi berbagai lapisan masyarakat dari lapisan bawah sampai lapisan
atas, karena telah didorong oleh rasa seagama (Islam). [1]
Namun, pada masa penjajahan kolonial Belanda umat Islam dihadapkan pada situasi terjepit; agama Islam
seringkali hanya dijadikan serangan, cemoohan, serta tuduhan dan celaan orang-orang
yang tidak menyukainya. Semuanya itu dilancarkan baik melalui lisan maupun tulisan, melalui ceramah-ceramah, mimbar gereja, pelajaran sekolah maupun berupa
karangan yang dimuat dalam surat kabar serta majalah dalam berbagai bahasa,
dengan maksud tiada lain untuk menanamkan benih-benih kebencian dalam hati kaum
dan bangsa pribumi Indonesia terutama terhadap Islam dan pemeluknya.
Pada saat itulah, di sebuah gang (jalan kecil) bernama
gang pak Gade banyak berkumpul kaum saudagar dan para pedagang yang sering disebut
dengan “orang pasar”[2]
meskipun sama kecilnya dengan gang yang lain dan tidak memiliki keistimewaan
apa-apa, namun gang pak Gade inilah yang mencatat sebuah sejarah berdirinya
suatu organisasi pembaruan Islam yang bersemboyan kembali kepada al-Qur’an dan
sunnah serta membersihkan Islam dari khurafat dan bid’ah yang mengotorinya.
Organisasi yang berdiri di gang pak Gade ini kelak dikenal dengan nama
Persatuan Islam (PERSIS).[3]
Persis didirikan di gang pak Gade itu, sebuah gang di
dalam kota Bandung pada permulaan abad ke-20 ketika orang-orang Islam di daerah
lain te;ah terlebih dahulu maju dalam usaha untuk mengadakan pembaruan dalam
agama (Islam).
Bandung kelihatannya agak lambat memulai gerakan
pembaruan Islam dibandingkan dengan daerah-daerah lain, padahal cabang Sarekat
Islam telah beroperasi di kota ini sejak tahun 1913. Kesadaran tentang
keterlambatan ini merupakan salah satu cambuk untuk mendirikan sebuah
organisasi. Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan-pertemuan yang
bersifat kenduri yang didakan secara berkala di rumah salah satu seorang
anggota kerabat yang berasal dari Palembang, tetapi telah lama menetap di
Bandung. Mereka adalah keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palembang
dalam abad ke-18 yang mempunyai hubungan erat satu sama lain melalui hubungan
perkawinan. Selain itu, adanya kepentingan yang sama antara yang satu dengan
yang lain dalam usaha perdagangan serta dengan adanya kontak antara
anggota-anggota generasi yang datang kemudian, dalam mengadakan study tentang
agama ataupun kegiatan-kegiatan lain. Dalam pembicaraan keseharian mereka, meskipun berasal dari
Sumatera, tidak lagi merasa bahwa mereka
adalah orang-orang Sumatera, mereka telah
merasa benar-benar sebagai orang Sunda dan dalam pergaulan sehari-hari mereka berbicara dengan bahasa
Sunda.[4]
Tamu-tamu yang hadir pada kenduri yang diadakan itu,
tentu saja terdiri pula dari orang lain di luar
ketiga famili tadi, namun pada umumnya mereka senang sekali menerima undangan
kenduri itu, antara lain di samping mempelajari agama Islam, juga tertarik
kepada masakan Palembang yang populer. Selesai makan, masalahmasalah agama dan
gerakan-gerakan keagamaan menjadi bahan
pembicaraan. Dalam pembicaraan-pembicaraan inilah terutama Haji Zamzam
dan Haji Muhammad Yunus dari lingkungan famili itu yang paling banyak
mengemukakan pikiran-pikirannya, karena memang mereka mempunyai pengetahuan
agama yang cukup luas. Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus sebenarnya adalah
pedagang biasa, tetapi keduanya masih punya kesempatan dan waktu untuk
memperdalam pengetahuan tentang agama Islam. Haji Zamzam (1894-1952) pernah
menghabiskan waktunya selama tiga setengah tahun untuk belajar di Lembaga Dar
al-Ulum Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah ia menjadi guru di Darul Muta’allimin,
sebuah sekolah agama di Bandung sekitar 1910-an dan mempunyai hubungan dengan
Syekh Ahmad Soorkati dari Al-Irsyad di Jakarta. Sedangkan Muhammad Yunus, yang
memperoleh pendidikan agama secara tradisional namun pandai berbahasa Arab,
tidak pernah mengajar, ia hanya berdagang, tetapi minatnya dalam mempelajari
agama Islam tidak pernah hilang. Kekayaannya menyanggupkan ia untuk membeli
kitab-kitab yang diperlukannya, juga untuk para anggota Persis setelah
organisasi itu didirikan. [5]
Topik pembicaraan dalam kenduri itu bermacam-macam, misalnya
masalah-masalah agama yang dimuat dalam majalah Al-Munir yang terbit di Padang,
majalah Al-Manar yang terbit di Mesir, dan pertikaian-pertikaian antara
Al-Irsyad dan Jamiat Khaer di Jakarta. Selain itu mereka pun menaruh perhatian
pada organisasi-organisasi keislaman, seperti Sarekat Islam yang pada waktu itu
mengalami perpecahan akibat pengaruh paham komunis yang bukan saja merupakan
hal menarik untuk dibicarakan, tetapi juga merupakan hal yang menyebabkan
kalangan pemuka agama di Bandung menjadi resah. Terlebih lagi setelah pengurus
Sarekat Islam di Bandung mendukung kelompok komunis dalam kongres Sarekat Islam
keempat di Surabaya pada tahun 1921, sehingga menyebabkan terjadi pula
perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam Bandung. Dalam diskusi-diskusi itu, hadir
pula Fakih Hasyim[6] seorang ulama dari Surabaya yang berkunjung
ke Bandung untuk keperluan perdagangan. [7]
Pertemuan-pertemuan dalam kenduri itu pada akhirnya
menjelma menjadi kelompok studi (study club) dalam bidang keagamaan, para
anggota kelompok tersebut dengan penuh kecintaan menelaah, mengkaji, serta
menguji ajaran-ajaran yang diterimanya. Sedangkan di pihak lain, keadaan kaum
muslimin Indonesia tenggelam dalam taqlid, jumud, tarekat, khurafat, takhayul,
bid’ah, dan syirik sebagaimana terdapat di dunia Islam lainnya bahkan diperkuat
oleh cengkraman kaum penjajah Belanda.
Para anggota kelompok
itu semakin lama
mengkaji ajaran Islam, semakin tahulah hakekat Islam sebenarnya dan
mereka semakin sadar akan keterbelakangan dan kejumudan yang menyadarkan mereka
untuk membuka pintu ijtihad dan mengadakan pembaruan serta pemurnian agama
Islam di masyarakat. Untuk itulah mereka kemudian mengajarkan apa yang telah
diketahuinya kepada sesama muslim lainnya di kampung halaman mereka. Sehingga
dengan demikian secara tidak langsung; resmi atau tidak resmi, telah berdiri
pula kelompok-kelompok penelaah seperti yang terdapat di kota Bandung di berbagai tempat di Indonesia. [8]
Setiap kelompok yang telah tersebar di berbagai tempat
selalu mengadakan hubungan dengan kelompok pertama yang ada di kota Bandung dan
selalu mengadakan hubungan satu sama lain. Dalam keadaan seperti ini telah
terbentuk suatu hubungan horizontal
(mendatar) tanpa hubungan organisatoris yang resmi atau berdasarkan satu nizham
jam’iyah yang pasti. Oleh karena itu dengan maksud agar perjuangan serta jihad
yang telah dilakukan oleh setiap kelompok itu lebih berkemampuan lagi, maka
dengan resmi didirikanlah sebuah organisasi yang mempunyai hubungan vertikal
dengan satu nizham jam’iyah yang pasti dan disusun bersamasama. Kelompok studi
pengkajian Islam itu kemudian menamakan
kelompoknya dengan nama “Persatuan Islam” walaupun pada saat itu ada juga yang memberi nama “Permupakatan
Islam.” [9]
Persis didirikan secara resmi pada hari Rabu tanggal 1
Shafar 10 1342 H bertepatan dengan
tanggal 12 September 1923[10]
di Bandung oleh sekelompok orang Islam
yang berminat dalam studi dan aktivitas
keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Dengan
demikian, sebagai organisasi formal yang berdiri secara resmi, maka Persis
telah merupakan wadah organisasi dari
umat Islam. Nama Persatuan Islam itu diberikan dengan maksud mengarahkan ruh
ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan
cita-cita yang sesuai dengan kehendak organisasi yaitu; Persatuan pemikiran
Islam, Persatuan rasa Islam, Persatuan usaha Islam, dan Persatuan suara Islam.
Bertitik tolak dari persatuan pemikiran, rasa, usaha, dan suara Islam itu maka
jam’iyah atau organisasi itu dinamakan ‘Persatuan Islam’ (Persis).
Selain itu, nama tersebut diilhami pula oleh firman
Allah dalam Al-Qur’an suci surah Ali ’Imran ayat 103, yang berbunyi; “Dan
berpegang teguhlah kamu sekalian
pada tali (undang-undang/ aturan) Allah
seluruhnya dan janganlah kamu bercerai”, serta sebuah
hadits nabi yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, yang berbunyi; “Kekuatan Allah itu
bersama jama’ah”. Firman Allah dan hadits nabi tersebut kemudian dijadikan
motto Persis dan tertera di dalam lambang Persis dalam lingkaran bintang
bersudut dua belas.[11]
Pada mulanya Persis terbentuk dan berdiri pada masa
penjajahan kolonial Belanda itu tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan para
pendirinya atau kebutuhan masyarakat pada masa itu. Para pendirinya tidaklah
mendapatkan kepentingan diri mereka di dalamnya, tetapi mereka mendirikannya
karena merasa terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah dari Allah SWT
sebagaimana Rasulullah SAW, berdiri di atas bukit Shofa menyatakan kerasulannya
tidaklah berdasarkaan atas kepentingan dirinya. Para pendiri Persis
mendirikannya bukan disebabkan oleh karena masyarakat membutuhkannya, karena
sesungguhnya masyarakat Islam Indonesia ketika itu tidak membutuhkan suatu
perombakan tatanan kehidupan keislaman, sebab mereka telah tenggelam dalam
biusan taqlid, jumud, khurafat, bid’ah, takhayul serta syirik. Oleh
karena itu Persis tidak berdiri atas kebutuhan masyarakat, sebagaimana masyarakat jahiliyah tidak
membutuhkan kedatangan Nabi Muhammad SAW
yang hendak mengubah mereka, sehingga mereka memusuhi, menghina, dan mengancamnya.
Persis didirikan karena ia diperlukan keberadaannya, sebagaimana kedatangan
Rasulullah SAW diperlukan sebagai pembaharu dan perombak masyarakat jahiliyah.
Persis berdiri di atas dasar dan landasan kewajiban akan tugas Ilahi untuk
mengangkat umat dari jurang kemandegan berpikir dan ketertutupan pintu ijtihad.[12]
Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri
pada awal abad ke-20, Persis mempunyai ciri tersendiri, kegiatannya dititik beratkan
pada pembentukan paham keagamaan. Sedangkan kelompok-kelompok yang telah
diorganisasikan, misalnya Budi Utomo yang didirikan pada tahun 1908, hanya
bergerak dalam bidang pendidikan bagi orang-orang pribumi (khususnya bagi
orang-orang Jawa), sementara Sarekat Islam yang didirikan pada tahun 1912 hanya
bergerak untuk kemajuan bidang perdagangan dan politik. Muhammadiyah yang
didirikan pada tahun 1912, gerakannya diperuntukkan bagi kesejahteraan sosial
masyarakat muslim dan kegiatan pendidikan keagamaan.[13]
Sebagai suatu organisasi perjuangan yang bertujuan untuk
menyusun dan menciptakan masyarakat yang
berjalan di dalamnya ajaran dan hukum Islam, Persis mempunyai pandangan dan
analisis perjuangan yang sesuai dengan dasar keyakinannya. Selama zaman
kolonial Belanda (sejak awal berdirinya) Persis menitik beratkan perjuangannya
pada penyebaran dan penyiaran paham dan aliran Qur’an-Sunnah kepada masyarakat
kaum muslimin, dan bukan untuk memperbesar atau memperluas jumlah anggota dalam
organisasi. (Anshary, 1958:6). Persis pada umumnya kurang memberi tekanan pada
kegiatan organisasi itu sendiri, ia tidak terlalu berminat untuk membentuk
banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota. Pembentukan cabang bergantung
semata-mata pada inisiatif peminat dan tidak didasarkan kepada suatu rencana
yang dilakukan oleh Pimpinan Pusat.[14]
Pada masa penjajahan Belanda, Persis memiliki dua sisi perjuangan; ke dalam, Persis secara aktif membersihkan Islam dari paham-paham yang tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi terutama yang menyangkut aqidah dan ibadah serta menyeru umat Islam supaya berjuang atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan perjuangan ke luar, Persis secara aktif menentang dan melawan setiap aliran dan gerakan anti Islam yang hendak merusak dan menghancurkan Islam di Indonesia. Karena itulah segala aktivitas dan perjuangannya ditekankan pada usaha menyiarkan, menyebarkan, dan mengembangkan paham Al-Qur’an dan AsSunnah. Dengan demikian, usaha mengembangkan dan membina organisasi tidak mendapat pelayanan yang wajar, di samping karena tidak diniatkan hendak menjadikan Persis menjadi organisasi massa Islam yang besar dan beranggota banyak. Persis malah berjuang membentuk diri menjadi ‘kern’, menjadi intisari dari dan dalam masyarakat kaum muslimin, ia mencari kualitas bukan kuantitas, ia mencari isi bukan mencari jumlah.[15]
B.
Usaha
gerakan Persatuan Islam
1.
Pendidikan
Dalam aktivitas penyebaran Al-Qur’an dan
As-Sunnah sebelum berdiri
lembaga-lembaga pendidikan, pelajaran-pelajaran agama dan ilmu-ilmu lainnya
diberikan dalam pertemuan-pertemuan dan ceramah-ceramah di tempat pertemuan
organisasi ini di kota Bandung. Acara
tersebut lebih sering diselenggarakan
oleh para anggota Persis secara pribadi dari pada diselenggarakan secara resmi oleh organisasi Persis. Dalam
hal ini Haji Zamzam menjadi pembicara
penting terutama dalam menguraikan perihal
aqidah Islamiyah dan tata cara beribadat dalam Islam.[16] Baru kemudian setelah A. Hassan bergabung
dalam aktivitas Persis, maka penyebaran paham Al-Qur’an dan As-Sunnah semakin
meluas terutama setelah didirikannya kelas pendidikan aqidah dan ibadah.[17]
Kelas pendidikan aqidah dan ibadah dalam bentuk madrasah ini pada mulanya
dimaksudkan untuk mendidik anak-anak dari anggota Persis, tetapi kemudian
diperluas untuk anak-anak di luar anggota. Selain itu diselenggarakan pula
kursus-kursus dalam masalah agama untuk orang-orang dewasa yang pada mulanya
juga dibatasi hanya untuk para anggota Persis saja. Haji Zamzam dan A. Hassan
sangat aktif mengajar pada kursus-kursus ini, dengan menyampaikan berbagai persoalan
keagamaan terutama mengenai soal-soal keimanan serta permasalahan ibadat dengan
menolak kebiasaan bid’ah. Masalah-masalah yang sangat menarik dan aktual pada
waktu itu, seperti poligami dan nasionalisme, juga dibicarakan. Aktivitas
penyelenggaraan kelas pendidikan aqidah dan ibadah serta kursus-kursus tersebut
telah dimulai sejak tahun 1924.[18]
Sekitar tahun
1927, sebuah kelas atau lebih tepat sebuah
kelompok diskusi, diselenggarakan oleh Persis untuk para pemuda yang
sedang menjalani masa studinya pada sekolah-sekolah menengah pemerintah Belanda
dan para pemuda yang ingin mempelajari Islam secara sungguh-sungguh. Dalam
kelas ini A. Hassan bertindak sebagai guru, tetapi ia pun mengakui meskipun bertindak
sebagai guru ia banyak belajar dari pembicaraan yang dilakukan dari kelompok
diskusi itu yang menyebabkan dorongan baginya untuk memperoleh pengetahuan
sendiri. Masalah-masalah yang muncul dalam diskusi-diskusi itu pula yang
memberikan semangat kepadanya untuk lebih banyak lagi menggali sumber-sumber
ajaran Islam. [19]
Pada tahun 1915, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan izin tentang penyelenggaraan sistem
pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh
masyarakat. Kesempatan seperti itu dimanfaatkan oleh Persis untuk
menyelenggarakan sistem pendidikan menyerupai sekolah. Dalam tahun 1930, salah
seorang anggota Persis A. Banama, mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis),
yang digunakan Persis sebagai fasilitas pertama bagi sekolah menengah dan
sekolah guru di Bandung. Organisasi pendidikan ini, yang akhirnya dipimpin oleh
Mohammad Natsir pada tahun 1932, mendirikan sekolah menengah pertama (MULO);
sebuah sistem pendidikan menengah yang lebih diperluas dan sekolah pendidikan
guru di kota Bandung, dan di tahun 1938 telah memulai membuka sekolah-sekolah di lima tempat lain
di Jawa.[20] Para pelajar sekolah menengah dan sekolah
guru Persis itu harus mengikuti disiplin yang ketat. Pada masa penerimaan murid
baru, misalnya, para pelajar itu harus membaca syahadat dan mengambil sumpah dengan
menyatakan:
1.
Menjunjung tinggi
agama Allah; tunduk dalam hati dan perkataan, dalam amal dan akhlak, turut
kepada perintah Allah dan Rasulnya;
2.
Akan senantiasa
memperdalam pengetahuan umumnya dan
dalam ilmu-ilmu keislaman khususnya yang diwajibkan Islam atas setiap muslim
dan muslimat;
3.
Akan senantiasa
usaha dengan tiada putusnya memperbaiki dan mendidik diri sampai menjadi mukmin
dalam arti kata yang penuh;
4.
Wajib sembahyang;
5.
Tidak akan
meninggalkan puasa wajib;
6.
Akan bersedekah
pada jalan Allah berupa harta, pikiran, dan tenaga sekuatnya;
7.
Wajib menurut
contoh-contoh yang disunatkan Rasul dan sahabat-sahabatnya;
8.
Wajib menganggap
saudara yang tua sebagai bapak, ibu, atau kakak dan saudara yang muda sebagai
anak atau adik, dan yang sesama sebagai saudara kandung menurut (sebagaimana)
yang telah ditentukan oleh Islam;
9.
Wajib memakai
pakaian menurut Islam;
10. Haram
menghampiri hal-hal yang melanggar kesopanan Islam dalam pergaulan lelaki dan
perempuan;
11. Haram
minum arak dan sejenisnya;
12. Haram berjudi;
13. Haram berdusta;
14. Haram berkhianat;
15. Haram melanggar kesopanan terhadap ibu bapak,
wajib berkhidmat kepada keduanya sebagaimana yang diwajibkan oleh agama Islam. [21]
Selain itu, Mohammad Natsir mencoba mendirikan
berbagai lembaga pendidikan yang pada
mulanya merupakan jawaban terhadap tuntutan dari berbagai pihak, termasuk
beberapa orang yang mengambil pelajaran privat dalam pelajaran bahasa Inggris
dan berbagai pelajaran lain kepadanya. Tuntutan-tuntutan tersebut muncul
setelah melihat berdirinya sekolah swasta di Bandung pada waktu itu, yang di
dalam sekolah-sekolah swasta tersebut tidak
diberikan pelajaran agama Islam. [22]
Di samping
lembaga Pendidikan Islam (Pendis), pada tanggal 4 Maret 1936 (10 Zulhijjah 1354
H) Persis mendirikan sebuah pesantren yang disebut “Pesantren Persatuan Islam”
untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginaan menyebarkan agama Islam.
Selain itu tujuan utama mendirikan
Pesantren Persatuan Islam itu adalah
untuk mencetak para muballighin yang mampu mendakwahkan, mengajarkan, dan membela serta memelihara
agama Islam di mana pun mereka berada.
Di Pesantren Persatuan Islam ini A. Hassan bertindak sebagai direktur dan
kepala sekolah, sementara Mohammad
Natsir, yang telah menyelesaikan pelajaran pendidikan guru yang disponsori oleh pemerintah Belanda,
bertindak sebagai penasihat dan juga sebagai
guru. [23]
Pada awal berdirinya,
Pesantren Persatuan Islam ini menerima pelajar sebanyak 40 orang yang datang dari
berbagai daerah seluruh Indonesia, yang kebanyakan datang dari Jawa. Pelajaran yang diberikan di Pesantren
Persatuan Islam itu antara lain berbagai ilmu agama yang perlu dikuasai oleh
seorang muballig[24] Persis yakni seorang muballig yang
menyampaikan ajaran Al-Qur’an, tajwid, sharaf, nahwu, tarikh, tafsir, hadits,
khat, ushul fiqih, akhlak, bayan, badie, ma’ani, manthiq, bahasa Arab, serta
ilmu-ilmu lainnya di luar ilmu agama seperti bahasa Melayu, ilmu hisab, ilmu
alam, ilmu jurnalistik, serta berbagai ilmu pengetahuan yang dianggap perlu.
Di samping Pesantren Persatuan Islam itu (yang disebut
pula pesantren besar, karena dikhususkan untuk para pemuda), diselenggarakan
pula pesantren kecil (khusus untuk anak-anak kecil) yang berlangsung sore hari
yang diikuti oleh anak-anak laki-laki dan perempuan tidak kurang dari 100
orang. Pesantren Persatuan Islam dan pesantren kecil tersebut bertempat di
Jalan Pangeran Sumedang (sekarang jalan Otto Iskandardinata) di bawah asuhan A.
Hassan (untuk pesantren Persatuan Islam) dan ustadz Hasan Hamid, yang sebelumnya
adalah guru di sekolah Al-Irsyad di Jakarta. yang dibantu oleh ustadz Muhammad
dan ustadz E. Abdurrahman (untuk
pesantren kecil).[25]
Pada tahun 1938
Persis mempunyai sekolah-sekolah setingkat HIS pada lima tempat di Jawa Barat.
Muridnya terdiri dari anakanak setempat, tetapi beberapa diantaranya berasal
dari Sumatera (terutama Aceh), Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Menjelang tahun
1942, kira-kira terdapat 50 orang siswa telah berhasil
menyelesaikan studinya di MULO dan
antara 30 dan 40 orang telah berhasil
menyelesaikan sekolah guru Persis. Para lulusan ini pada umumnya kembali ke tempat asal mereka masing-masing
dan membuka sekolah-sekolah baru atau
bergabung dengan sekolah-sekolah yang
telah ada yang diusahakan oleh organisasi-organisasi pembaharu lainnya. [26]
Setelah
Pesantren Persatuan Islam berjalan kurang lebih
tiga tahun, Pesantren Persatuan Islam (pesantren besar untuk para
pemuda) pindah ke Bangil pada bulan Maret 1940 termasuk A. Hassan[27] dan Muhammad Ali Hamidi (putera ustadz Hasan
Hamid) beserta sekitar 25 orang santri dari 40 orang santri angkatan pertama,
yang ingin meneruskan pelajarannya turut pula pindah ke Bangil.[28] Sedangkan
Pesantren Persatuan Islam yang diselenggarakan untuk anak-anak terus berjalan
di kota Bandung di bawah pimpinan ustadz E. Abdurrahman dan ustadz O.
Qomaruddin, tempat dan waktu yang biasa dipergunakan oleh pesantren besar
dipergunakan oleh Pendidikan Islam, HIS, MULO, dan Sekolah Guru Persatuan
Islam.[29]
Pada awalnya Pesantren Persatuan Islam, sebelum 1935,
tidak merupakan bagian dari jam’iyah
yang diurus oleh Persis, tetapi merupakan pesantren yang mempergunakan tempat
dan madrasah Persis karenanya ada kalanya guru-gurunya masih memberikan
pelajaran yang berpaham kolot (tradisional).[30] Namun demikian pada perkembangan selanjutnya
setelah diresmikan berdirinya pesantren Persatuan Islam pada tanggal 4 Maret
1936 (1 Dzulhijjah 1354 H) lembaga-lembaga pendidikan yang mempergunakan tempat
milik Persis berada di bawah naungan organisasi Persis, beserta pesantren
Persatuan Islamnya. Hasilnya, para pemuda dan anak -anak yang dididik di
pesantren Persatuan Islam dicetak menjadi
pelopor dan pemimpin Persis di masa mendatang serta di daerah-daerah
tempat asalnya, mereka bertindak selaku muballig Persis dan menjadi pelopor berdirinya cabang-cabang
Persis di berbagai tempat di seluruh
Indonesia.
2.
Publikasi
Pada suatu ketika, seorang pendeta berceramah
tentang kenabian Nabi Muhammad di
hadapan murid-murid AMS yang diwajibkan mengikuti acara itu di gereja. Dalam
acara ini Mohammad Natsir dan Fachruddin
Al-Khahiri (dua murid A. Hassan yang bersekolah di AMS) terpaksa mengikutinya.
Dalam ceramahnya, sang pendeta yang pada mulanya hendak menguraikan tentang
kenabian Nabi Muhammad dan Islam, ternyata menyampaikan ceramahnya hanya berisi
dengan hinaan (terhadap Islam) tanpa dasar yang kuat. Menghadapi masalah
seperti ini, Komite Pembela Islam[31] mengambil tindakan dengan membuat pernyataan
dan uraian yang dimuat dalam surat kabar untuk menunjukkan kekeliruan ceramah
pendeta tersebut. Natsir ditugasi untuk membuat bantahannya. Pada awalnya
redaksi surat kabar A.I.D. menolak, tetapi setelah Natsir menunjukkan bahwa
ceramah itu sendiri dimuat, barulah redaksi bersedia menerima bantahan
tersebut. Begitulah aktivitas Komite Pembela Islam menjalankan kegiatannya,[32]
jika muncul masalah atau penghinaan terhadap Islam maka segera muncul reaksi dan tanggapan untuk
membantahnya. Reaksi, tanggapan, dan bantahan
dari Komite Pembela Islam ini muncul dalam majalah Pembela Islam yang
mulai terbit sejak bulan Oktober 1929.[33]
Majalah Pembela Islam yang diterbitkan oleh Persis
inilah yang memberikan kesempatan kepada Natsir dan A. Hassan untuk
mengeluarkan pendapatnya. Natsir sangat menaruh perhatian terhadap berbagai
persoalan yang muncul, terutama yang menyangkut masalah keislaman [34] melalui majalah Pembela Islam sebagai
penyalur ide dan pendapatnya. Majalah Pembela Islam merupakan cerminan dari
sikap “menentang” Persis dengan maksud
untuk menegakkan ajaran-ajaran Islam yang dikecam oleh pihak-pihak yang
membenci Islam, serta menyebarkan pemikiran-pemikiran dari Persis sendiri.
Majalah Pembela Islam dalam sirkulasinya
mencapai 2000 eksemplar, sehingga dapat dikatakan tersebar di seluruh Indonesia,
dengan penyebaran antara lain ke Sulawesi, Kalimantan, Minangkabau, dan Jawa
Barat sendiri, bahkan tersebar pula di Malaya dan Muangthai. Para pembacanya
terutama adalah golongan pembaharu, seperti para anggota Muhammadiyah dan
Al-Irsyad.[35] Publikasi
majalah Pembela Islam ini terpaksa berhenti karena kesulitan keuangan untuk biaya terbitnya yang
semata-mata dipikul oleh A. Hassan
serta akibat larangan terbit yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial
Belanda pada tahun 1935 dengan alasan telah menyerang agama Kristen yang
dilindungi oleh pemerintah. Pada akhirnya, majalah Pembela Islam setelah
mencapai nomor 71 dalam kurun waktu enam tahun, pada tahun 1935 terhenti sama
sekali.[36]
Selain majalah Pembela Islam dalam bulan November
1931 Persis menerbitkan majalah Al-Fatwa
dengan menggunakan bahasa Indonesia yang dicetak dengan huruf Arab. Majalah ini isinya hanya membicarakan
masalah agama semata-mata tanpa sikap menentang terhadap pihak-pihak bukan
Islam. Sesuai dengan namanya Al-Fatwa majalah ini lebih banyak berisi
pengetahuan-pengetahuan agama serta hukum-hukum Islam yang berdasarkan atas
sumber aslinya, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selanjutnya majalah Al-Fatwa memuat
ruang tafsir Al-Qur’an mulai dari surah
Al-Fatihah dan disambung dengan Juz Amma dari surat An-nas, ruang soal
jawab tentang syah tidaknya suatu hadits, ruang keterangan tentang
hadits-hadits dlaif (lemah) dan hadits maudlu (palsu) menurut kaidah kitab
fikh, ruang soal jawab mengenai masalah-masalah agama dengan keterangan
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, ruang pepatah-pepatah, dan ruang nasihat-nasihat
dari tokoh-tokoh Islam pada masa lampau. Majalah Al-Fatwa ini diasuh oleh
Muhammad Yunus, Haji Zamzam, Muhammad Ma’shum, dan A. Hassan.[37]
Majalah Al-Fatwa mempunyai sirkulasi
sekitar 1000 eksemplar yang tersebar sampai ke Sumatera dan Kalimantan, serta
kira-kira 100 pelanggan terdapat di Singapura. Publikasi majalah Al-Fatwa ini terhenti pada bulan
Oktober 1933 setelah terbit 20 nomor.
Setelah majalah Pembela Islam dan Al Fatwa tidak
terbit lagi, sebagai penggantinya terbitlah majalah Al-Lisan pada tanggal 27
Desember 1935. Sebagaimana majalah sebelumnya, majalah ini dijadikan pula
sebagai alat untuk membentangkan garis-garis perjuangan Persis, serta sebagai
alat propaganda dan penangkis serangan-serangan yang dilancarkan oleh
lawan-lawannya. Majalah Al-Lisan nomor 1 sampai 46 terbit di Bandung, tetapi
sejak bulan Mei 1940 mulai nomor 47 sampai dengan nomor 65 (nomor terbitan
terakhir) terbit di Bangil bersamaan dengan pindahnya A. Hassan beserta
beberapa orang muridnya ke Bangil. Majalah ini tidak terbit lagi sejak 1 Juni
1942 setelah menerbitkan nomor dengan
sirkulasi rata-rata mencapai 2000 eksemplar.
Setelah itu, pada 1937 terbitlah majalah At-Taqwa
berbahasa Sunda untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Sunda yang tidak mengerti
bahasa Indonesia. Majalah At-Taqwa ini
dipimpin oleh E. Abdurrahman dan O. Qomaruddin Saleh dengan isi yang tidak jauh
berbeda dengan Al-Lisan. Majalah ini terbit sampai nomor 20 dan terhenti
penerbitannya sejak tahun 1941, sirkulasinya mencapai 1000 eksemplar. Pada tahun yang sama (1937) selain majalah
At-Taqwa, terbit pula majalah Lasykar Islam yang merupakan kelanjutan dari
majalah Pembela Islam. Dua tahun kemudian terbit kumpulankumpulan artikel yang
diambil dari majalah Al-Lisan dengan judul
Al-Hikam (mutiara hikmah).
Bagian penting dari semua penerbitan yang dikeluarkan
oleh Persis adalah kolom Sual Djawab, dimana salah seorang staf editorialnya,
biasanya A. Hassan tetapi kadangkala Haji Mahmoed Aziz atau Moenawar Chalil,
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pembaca mengenai
masalah-masalah penting keagamaan, dari
masalah ibadah hingga prilaku sosial dan politik. Dalam menjawab berbagai persoalan tersebut,
diambil dengan menggunakan literatur yang tepat dalam mengeluarkan fatwa atau
keputusan agama, karena sumber-sumber keagamaan dipakai sebagai dasar bagi
keputusan-keputusan itu. Format keputusan-keputusan itu sangat sederhana.
Pertanyaan dari si penanya ditulis,
kemudian jawabannya merujuk kepada sumber-sumber tertulis yang digunakan dan dituliskan dalam jawaban pada kolom
ini; pertama ditulis teks aslinya dalam
huruf dan bahasa Arab, kemudian setelah
sisipan kata artinya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian dinyatakan pendapat dari si
penjawab. Kutipan dari sumber-sumber
rujukan sengaja ditulis agar mendorong para
pembaca mempelajari aslinya jika ia mampu, di samping untuk menunjukkan rujukan asli, terlepas dari
kesulitan-kesulitan terjemahan.
Surat-surat pembaca kepada majalah Pembela Islam, misalnya menunjukkan bahwa kolom Sual Djawab dibaca dengan baik, bahkan koleksi
fatwa yang terbit dalam publikasi-publikasi Persis di berbagai majalah telah
diterbitkan dalam beberapa jilid selama tahun 1930-an dengan judul kolektif
Sual-Djawab.
Di samping publikasi-publikasi periodikal, Persis
menerbitkan pamflet-pamflet dan
monograf-monograf singkat hasil karya para anggotanya, baik secara individual
maupun kelompok yang merefleksikan filsafat dan pandangan organisasi. Kitab
Pengadjaran Shalat dan At-Tauhid, yang masing-masing kemudian dicetak ulang
berkali-kali, memuat sketsa lengkap semua keyakinan Islam ortodoks, yang
dilengkapi sejumlah rujukan kepada Qur’an dan Hadits. Sejumlah buku lain,
semisal Kitab Zakat dan Risalah Djoem’ah, dimaksudkan untuk memberikan gambaran
tentang kewajiban dan perilaku agama kepada umat Islam. Serial buku,. terutama
buku Kesopanan Tinggi dan Al-Moehtar, mengemukakan garis besar sejarah Islam
dan mengagungkan sejarah Islam, yang terang-terangan bertujuan untuk meyakinkan
umat Islam Indonesia akan kebesaran-kebesaran masa silam umat Islam di samping
untuk menghadapi kaum nasionalis
sekuler, yang memandang masa silam Hindu Jawa sebagai jaman keemasan Indonesia.[38]
Sejumlah buku juga ditulis untuk merangsang pembaruan-pembaruan
dalam praktik religius kontemporer yang dianggap salah oleh anggota-anggota
Persis, semisal praktik-praktik yang dijelaskan dalam Kitab Talqin Orang Wet
(Kitab Talqin menurut Hukum Islam), yang memuat praktik-praktik penguburan yang
berlaku dan dimaksudkan untuk menolak praktik-praktik yang biasa dilakukan oleh
kaum tua. Selain itu, masalah ekonomi pun tidak luput dari perhatian Persis,
meskipun tidak secara khusus mengkajinya. Bukubuku yang berjudul Kitab Ribaa dan Risalah Pendjawab Debatan T.
Soelaiman Thojib mengenai Kitab Ribaa, misalnya, digunakan untuk menjelaskan
secara lengkap posisi Persis mengenai masalah bunga dan rente yang kemudian
ramai didiskusikan oleh umat Islam pada tahun 1930-an yang disebabkan munculnya
praktik ekonomi melalui bank, tabungan-tabungan, rekening-rekening, dan
asuransi. Demikian pula Qamoes Al-Baja (Kamus Istilah), kamus ringkas
istilah-istilah Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu, dan tafsir Qur’an
dalam bahasa Melayu dan Sunda yang berjudul Al-Furqon hasil karya A. Hassan
merupakan kamus dan tafsir AlQur’an pertama yang dipersiapkan oleh Persis.
Selain itu, sejumlah buku dan pamflet yang ditulis oleh Sabirin yang
berjudul Poeasa, Mengandung Pendidikan Hygiene (Kesehatan Toeboeh), Physick (Tabi’at),
dan Moreele Dicipline (Boedi Pekerti), telah merefleksikan perhatian anggota
Persis untuk mengkaji agama dengan pendekatan saintifik kontemporer. [39]
3.
Tablig
dan Dakwah
Penyebaran paham yang dilakukan oleh Persis, yakni
paham pemurnian ajaran Islam dengan
mengembalikan umat kepada tuntutan Al-Qur’an dan As-Sunnah, selain dilakukan
melalui forum perdebatan dan penerbitan majalah-majalah, dilakukan pula melalui
kegiatan tablig dan khotbah di berbagai daerah yang dimotori oleh para muballig Persis terkenal pada masa itu,
seperti A. Hassan, Muhammad Yunus,
Muhammad Zamzam, E. Abdurrahman, Fachruddin Al-Khahiri, KHM. Romli, O. Qomaruddin,
Abdul Razak, Abdullah Ahmad, Muhammad Ali, dan H. Azhari.
Pada tanggal 26 dan 27 Oktober 1935, di Gedung Persis
Jalan Pangeran Sumedang, (sekarang Jalan Otto Iskandardinata) diadakan tablig
akbar Persis pertama yang dihadiri oleh kira-kira 700 orang serta dihadiri pula
oleh beberapa utusan dari Muhammadiyah dan PNI. Tablig akbar itu dimulai dari
pukul 20.00 dan dipimpin oleh Fachruddin Al-Khahiri, dengan para pembicara
antara lain Ustadz E. Abdurrahman yang membahas masalah mi’raj, Fachruddin
Al-Khahiri yang menyampaikan asas Persis, dan pandangan umum yang disampaikan oleh
H. Zain. Tablig akbar pertama itu dilanjutkan dengan tablig akbar kedua pada
tanggal 23 Nopember 1935 yang juga bertempat di Gedung Persis dihadiri oleh
sekitar 500 orang. Jumlah yang hadir pada tablig akbar kedua ini lebih sedikit
jika dibandingkan dengan tablig akbar pertama, karena pada saat pelaksanaannya
turun hujan sangat deras sehingga menyebabkan kurangnya jamaah yang hadir. Pada
tablig akbar kedua ini yang menjadi pembicara adalah K.H.M. Romli yang membahas
masalah zakat, Ustadz O. Qomaruddin membahas masalah puasa, Ustadz E.
Abdurrahman yang membahas masalah taqlid dan K.H. Azhari yang membahas zakat
dan puasa. [40]
Selain di kota Bandung dan sekitarnya, tablig Persis
juga dilaksanakan di luar Bandung, antara lain pernah dilakukan tablig keliling
selama satu minggu antara tanggal 1 hingga 8 Januari 1936, mulai dari Cirebon
sampai dengan Jakarta, lalu berturut-turut diadakan tabligh dan kursus kilat
anti-Ahmadiyah di masjid Persis Gang Syafi’i dan di lembaga Pendidikan Islam
Mr. Cornelis Jakarta. Selain itu dilakukan pertemuan dengan Pimpinan Cabang
Persis Cianjur, dan tiba kembali di Bandung pada tanggal 8 Januari 1936. Dalam
tablig keliling itu banyak dibicarakan masalah hukum Islam oleh Haji Zamzam dan
A. Hassan.[41]
Dalam verslag ringkas tablig yang dikeluarkan oleh
Pengurus (sekarang Pimpinan Pusat)
Persis, disebutkan tentang aktivitas tablig di luar kota Bandung lainnya,
seperti tablig yang diselenggarakan di Meester Cornelis (Jakarta) pada tanggal
8 Maret 1936 oleh Haji Zamzam yang membahas masalah tauhid dan tarikh,
sedangkan A. Hassan bertugas menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan. Pada
tanggal 14 Maret 1936 diadakan tablig di Cikaso Leles Garut di rumah Pimpinan
Cabang Persis Leles, H. Soedja’i. Dalam tablig tersebut Haji Zamzam membahas
masalah tauhid serta membahas berbagai permasalahan keagamaan. Setelah itu,
pada tanggal 15 Maret 1936 diadakan tabligh di rumah H. Zarkasih di Cimuncang
Leles Garut. Di tempat lain, di Cianjur diadakan pula tablig akbar yang
bertempat di gedung bioskop Roxy, pada tanggal 22 Maret 1936 oleh beberapa
orang unsur pimpinan Persis seperti Haji Zamzam yang membahas masalah asas
Persis, Mohammad Natsir membahas masalah keislaman, serta Ustadz E. Abdurrahman
membahas nabi baru, sedangkan A. Hassan menjawab berbagai pertanyaan yang
diajukan.[42] Tablig Persis dilaksanakan pula di berbagai
daerah yang telah berdiri cabang Persis, seperti cabang Majalaya Bandung pada
tanggal 18 April 1936 oleh Ustadz O. Qomaruddin yang membahas mengenai masalah
agama dan ekonomi. Di cabang Betawi (Jakarta) pada tanggal 12 April 1936
bertempat di rumah Tuan Moehamsir di Kampung Utan Panjang Batavia diadakan
tablig yang dihadiri oleh sekitar 100 orang. Di Tanjung Priuk dilaksanakan pula
tablig akbar pada tanggal 18 April 1936 yang dihadiri oleh 500 jemaah, dengan
para pembicara antara lain Tuan Mohammad Syah dari cabang Persis Betawi, Sa’id
Mangoen, Ali Harahap, H. Tamim, Mohammad Ali serta A. Hassan. Tablig akbar
kembali digelar pada tanggal 9 Mei 1936 di mesjid Empang Gang Abdoellah II
(unielaan) Batavia yang dihadiri oleh 700 jamaah, dengan para pembicara antara
lain Ustadz Abdurrazaq, Tuan Moegheni, Sa’id Mangoen, dan H. Tamim yang
membahas masalah kemunduran umat Islam dan tauhid, sedangkan A. Hassan menjawab
berbagai pertanyaan. Selain tablig akbar diadakan pula tablig bulanan di Masjid
Penjambon Batavia. Di luar pulau Jawa dilakukan tablig akbar di cabang Kutaraja
Aceh pada tangal 10 April 1936 dan dua hari kemudian, pada tanggal 12 April
berlangsung di rumah Tuan Rassin dengan
membahas masalah asas Persis yang disampaikan oleh Tuan Hasbi, masalah ibadah dibahas oleh Ustadz Rais, dan
masalah bid’ah dibahas oleh Tuan H. Mingoen[43]. Gerakan penyebaran paham Al-Qur’an dan Sunnah
oleh organisasi Persis terus berlangsung dan dijadwal secara rutin di berbagai
tempat. Dalam perkembangannya tablig Persis itu banyak sekali memukau para
jama’ah, sehingga jama’ah yang mengikuti tablig Persis dari waktu ke waktu
terus bertambah. Selain dilakukan oleh para muballig pria, tablig Persis
dilakukan pula oleh para mubalig wanita (mubaligah) yang membantu perjuangan
Persis untuk menyampakan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah di
kalangan kaum wanita. Para mubaligah Persis ini tergabung dalam bagian otonom
Persis khusus para wanita (istri) yang disebut Persatuan Islam Istri
(Persistri).
Dalam aktivitasnya, Persistri melaksanakan beberapa
kegiatan keagamaan seperti acara tablig khusus kaum ibu
yang dipimpin oleh Nyonya E. Abdurrahman dan Nyonya Dahniar. Tablig rutin
Persistri ini dilaksanakan setiap hari Senin sore di Mesjid Persis Jalan
Pangeran Soemedang Bandung. Jemaah yang mengikuti tablig Persistri itu tidak
kurang dari 50 orang jemaah setiap kali tablig. Tablig ini tidak saja diikuti
oleh ibu-ibu Persistri, tetapi juga ibuibu yang bukan anggota bahkan ibu-ibu
dari organisasi-organisasi Islam
lainnya, seperti Muhammadiyah dan Syarekat Islam.[44] Selain tablig umum yang rutin dilaksanakan
pada setiap hari Senin sore, diadakan pula kegiatan lain sejenis kursus
mubaligah yang dipimpin oleh Tuan A.D. Haani dan K.H. Muhammad Ramli. Materi
pelajaran yang diberikan kepada ibu-ibu peserta Tamhiedul mubalighah (kursus
mubalig bagi kaum wanita) antara lain pelajaran ilmu tauhid oleh ibu R. Maryam,
pengajaran ayat-ayat Al-Qur’an oleh Nyonya Dahniar, pengajaran ilmu akhlak
serta soal-jawab masalah-masalah
ubudiyah oleh K.H. Muhammad Ramli yang dibantu pula oleh Tuan A.D. Haani
dan Tuan H. Azhari dalam berbagai masalah agama. [45]
Di luar Bandung Persistri melakukan aktivitas tablig
khusus untuk kaum ibu. Dalam Verslag Tablig
Persistri, pada tanggal 23 Pebruari 1936 bertempat di sekolah pendidikan Islam
Oude Tamarindelaan 152 (Kampung Lima) Batavia Centrum diadakan tablig Persistri
Cabang Tanah Abang yang dikunjungi oleh sekitar 250 orang kaum ibu dan remaja
puteri. Tablig umum ini dipimpin oleh Nyonya Karsach, dengan para pembicara
antara lain Nona Nurjanah, Nyonya Salha, dan Nyonya Bintang. Tablig Persistri
di Tanah Abang itu dilaksanakan secara
rutin dua kali dalam satu bulan.[46]
Pada malam Ahad tanggal 12 September 1936, diadakan tablig akbar Persistri untuk kaum ibu di
Gedung Persis dengan menampilkan para pembicara antara lain; Siti Dahniar, Siti
Malehah, Siti Aliyah, R.O. Hasanah, dan Siti Nurjanah. Setelah Persistri
menyelenggarakan tablig akbar itu, diadakan pula tablig akbar umum untuk
laki-laki dan perempuan pada malam Senin tanggal 13 September 1936 oleh Persis,
dengan para pembicara antara lain Tuan Fachruddin, KH. Tamim, Kyai Zakaria, H.
Bahaoeddin, Abdul Razak, dan Mohammad Natsir.[47]
Untuk memantapkan dan mengendalikan aktivitas tablig
para mubalig Persis, pada tanggal 1 April 1937 Pengurus Besar Persis
mengeluarkan maklumat tentang penyajian materi tablig. Adapun isi maklumat
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
PERSATUAN ISLAM
sebagai perkumpulan tidak menetapkan salah satu hukum agama atas nama
perkumpulan; umpamanya Persis memutuskan ini halal, atau Persis memutuskan itu
haram. PERSATUAN ISLAM berpendirian bahwa hukum agama yang berdasakan kepada
Al-Qur’an dan Hadits, tidak perlu cap officiel yang diberi oleh salah satu
perkumpulan. Masalahnya dikuatiri, bahwa cap officiel itu bisa menghalangi kemerdekaan dalam menetapkan hukum Islam
atau memeriksa keterangan-keterangan
agama, dan menjauhkan mereka dari pokok-pokoknya yang asal
2.
PERSATUAN ISLAM
mempunyai satu bahagian pustaka yang memeriksa masalah-masalah agama dan
menyiarkan keputusannya, yang diambil dengan alasan-alasan AlQur’an dan Hadits,
sehingga bisa dipertimbangkan dan
dibandingkan oleh orang-orang yang membacanya.
3.
PERSATUAN ISLAM
mengundang tiap-tiap muslim, untuk berdialog bilamana ia pandang keputusan itu
keliru dengan membawa alasan-alasannya
4.
PERSATUAN ISLAM
mewajibkan kepada mubalighmubaligh Persis supaya selalu memperhatikan
tiap-tiap masalah yang disiarkan oleh
Persis bahagian pustaka juga menegor
bilamana mereka berpendirian lain,
dengan membawakan alasan-alasan
pendirian mereka pula
5.
Tegoran dalam
kalangan Persis ini, menurut cara berikut:
a.
Dengan surat langsung kepada P.B. Persis (Pengurus Besar Persatuan Islam) dan
salinannya kepada Persis bahagian pustaka.
b. Dengan rembukan yang teratur menurut
organisasi.
6.
Persis bahagian
pustaka bersedia setiap waktu ruju dari pendiriannya yang salah dan mengumumkan
seluas-luasnya supaya menjadi perhatian dan pertimbangan tiap-tiap muslim yang
membaca.
7.
Cara bantahan
salah satu anggota atau mubaligh (dalam pers atau tabligh), sebelum
menegor atau bertukar pikiran terlebih
dahulu sebagaimana yang dimaksud di atas (punt 5), sehingga dianggap bukan
sebagai tegoran, melainkan sebagai cara yang merusak keamanan dalam
perkumpulan. Cara membantah yang macam ini akan diurus oleh P.B. Persis menurut
Qanun Persis. Tetapi isi bantahan yang macam ini pun akan mendapat perhatian yang
penuh juga dari P.B. Persis dan Persis
bahagian pustaka sebagaimana perhatian
yang diberikan kepada tegoran yang teratur (lihat point 5).[48]
Dengan keluarnya maklumat dari Pengurus Besar Persis,
telah memberikan warna dan corak baru dalam aktivitas tablig yang
diselenggarakan oleh Persis, baik yang diselenggarakan oleh organisasi maupun
oleh anggota perseorangan. Selain itu, keterbukaan dalam mengungkapkan
permasalahan dengan tidak mau benar sendiri, telah menarik massa untuk
mengikuti tablig-tablig Persis di berbagai tempat. Persis dengan
mubalig-mubalignya yang sangat tajam
dalam menyampaikan dakwah dan terkenal tajam
lidah, telah menggemparkan dunia Islam Indonesia dengan istilahistilah
tajamnya dalam membasmi bid’ah, khurafat, takhayul, serta paham-paham yang menyesatkan. Di samping
kegegeran masyarakat Islam yang
ditimbulkannya, banyak ulama yang dibangunkan dari “tidur nyenyaknya,” kemudian kembali
menunaikan kewajiban menghadapi masalah
kemasyarakatan yang selalu berubah. Tidak
mengherankan kiranya apabila di kemudian hari dari Persis itu timbul para pemimpin Islam yang berwatak.[49]
Selain melalui tablig dalam menyebarkan pahamnya,
Persis melakukan pula serangkaian
aktivitas nyata, terutama yang banyak dilakukan oleh Pemuda Persis. Pemuda Persis tampil sebagai pelopor
aktivitas sosial kemasyarakatan dan penggerak massa melakukan praktek ibadah
menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Contoh aktivitas itu dilakukan oleh Pemuda Persis
di kota Bandung menjelang Shalat Idul Fitri, dengan membagikan zakat fitrah
secara langsung kepada fakirmiskin tidak kurang dari 500 orang. Penyelenggaraan
pemungutan dan pembagian zakat fitrah menjelang shalat Ied
dianggap oleh golongan tradisional sebagai upaya cari muka dan ingin dipuji.
Namun meskipun demikian, praktik tersebut terus dilakukan sesuai dengan
tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pemuda Persis juga mempelopori
penyelenggaraan shalat Idul Fitri di lapangan (tidak di dalam masjid). Pada
waktu itu Persis dan Pemuda Persis mendapat tantangan dan cemoohan yang luar
biasa dari umat Islam lainnya, sehingga
pada saat penyelenggaraan shalat Ied yang pertama di lapangan (dengan tujuan
ingin melaksanakan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang berlangsung di lapangan
Tegallega Bandung, para Pemuda Persis serta anggota Persis dan para simpatisan
lainnya tidak sedikit yang membawa golok, karena sebelumnya telah mendapat
ancaman akan diserbu dan dikeroyok oleh umat Islam lainnya yang tidak sepaham
karena dianggap lain dari yang lain. Tidak kurang pula polisi pemerintah
kolonial Belanda menjaga lapangan Tegallega tempat berlangsungnya shalat Ied.
Demikian pula dalam penyelenggaraan aktivitas nyata lainnya yang dilakukan
Persis dengan bantuan Pemuda Persis, seperti pembagian daging hewan qurban pada
saat hari raya Iedul Adha kepada fakir-miskin, serta penyelenggaraan khitanan
masal yang pertama kali dilakukan Persis setiap hari raya Iedul Adha, juga
banyak dicemoohkan orang, diejek, dan dicaci maki.[50]
Demikianlah pada awal abad ke-20, antara tahun
1920-1930- 81 an, Persis telah membawa
arus gerakan pembaruan dalam dinamika pemikiran keislaman di Indonesia.
Serangkaian aktivitas Persis yang mengibarkan panji kembali kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah telah membawa perubahan fundamental terhadap kehidupan praktik
keislaman. Meskipun pada tahap awal aktivitas Persis dilancarkan dengan isu-isu
kontroversial dengan gebrakan-gebrakan yang membuat umat Islam lainnya kaget,
namun tindakan ini telah memaksa pikiran-pikiran mereka lebih terbuka dan
kritis. “Pintu” ijtihad pun dipaksa dibuka selebar-lebarnya.
Tidak hanya itu, dalam kemelut politik antara organisasi-organisasi gerakan politik kebangsaan dengan pemerintah kolonial Belanda, Persis pun tidak pernah ketinggalan dalam upaya aktif memperjuangkan berbagai tuntutan kepada pemerintah, terutama dalam tuntutan Indonesia berparlemen. Persis ikut memberikan bantuan dan dukungannya bersama-sama dengan partai politik yang ada. Demikian pula Persis ikut tampil ke depan dalam mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap rencana undang-undang kolonial anti-poligami dalam volksraad pada tahun 1936. Soal poligami ini sudah semakin keras dibicarakan orang, karena tata cara perkawinan di Indonesia tidak akan menggunakan tata cara Islam, tetapi akan diadakan perjanjian sesuka hati antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan yang ditetapkan menurut undang-undang. Dalam usaha menentang poligami ini, Persis melakukannya pula melalui perdebatan dan polemik. Bahkan ketika Soekarno dengan massa PNI (Partai Nasional Indonesia) menolak poligami, Mohammad Natsir dari Persis tetap mempertahankan pendapat berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah bahwa poligami tidak dilarang.
Kesimpulan.
A. Persatuan Islam (Persis) merupakan sebuah organisasi Islam yang beridiri pada tahun 1923 di Bandung. Organisasi ini berasal dari sebuah acara yang sangat sederhana yaitu kenduri. Didalam kenduri itu para anggotanya berbincang-bincang mengenai maslah keagamaan dan kegiatan keagamaan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Tokoh-tokohnya diantaranya adalah H. Zam-Zam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan dan Muhammad Nasir.
2. Usaha-Usaha gerakan Persis : Pendidikan dengan mendirikan kursus-kursus keagamaan, pendirian madrasah, pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam, pendirian pesantren, publikasi, tabligh dan dakwah.
B.
Saran
Penulis sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis berharap saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca guna kesempurnaan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anshary, M. Isa, Manifes Perjuangan
Persatuan Islam, Bandung: PP. Persatuan
Islam, 1958.
Deliar Noer; Gerakan Modern Islam
di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980.
Deliar Noer, Partai di Pentas
Nasional 1945-1965, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1987.
H. Endang Saifuddin Anshary dan Safiq Mughni, Wajah
dan Wijhah Seorang Mujtahid, Bangil : Almuslimun, 1984.
Howard M., Federspiel., Persatuan
Islam, Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, New York: Modern
Indonesia Project Southeast Asia Program, Cornell University, 1970.
--------------, Persatuan Islam
Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, terjemahan Yudian W. Asmin, dan H. Afandi
Mochtar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Latif, Yudi., “Menuju Transformasi
Dakwah Islam”, artikel dalam HU. Pi-kiran Rakyat, Bandung: 7 Juni 1991.
Lothrop Stoddard, Dunia
Baru Islam, Jakarta : Panitia Penerbit, 1996.
Majalah Risalah,
Bandung: PP. Persatuan Islam, Mei 1990.
Majalah Pemuda
Persis, Tamadun, Bandung, 1972,
Majalah Al-Lisan,
Bandung : Persatuan Islam, 1973.
Majalah Al-Lisan, Bandung :
Persatuan Islam, 1935.
Majalah Al-Lisan, Bandung :
Persatuan Islam, 1936.
Majalah Dunia Madrasah, Tahun I Nomor
8, 1953.
Majalah Risalah, Bandung :
Bagian Penyiaran PP. Persis, 1990.
Muhtadi, Asep S, Kyai dan Politik
Pembaharuan: Kasus Persatuan Islam, makalah tidak dipublikasikan, Semarang,
1408 H.
Mughni, Syafiq A., Hassan Bandung:
Pemikir Islam Radikal, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Mukhtar, Ibnu., Imam Bukhâri Dalam Sorotan,
Tanggapan Atas Jawaban Agus Efendi, Thadzibul Washiyyah, Gumuruh, Bandung,
1994.
Nasution, Harun, dan Azyumardi Azra,
(Eds.), “Perkembangan Modern dalam Islam”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1985.
--------------, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: P3ES, 1985.
Natsir, M., Capita Selecta I-II,
Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Qanun Asasi dan
Qanun Dahili Persatuan Islam, Bandung : PP. Persis, 1968.
Saifuddin Anshari, Endang., Wawasan
Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya”, Bandung: Pustaka, 1983.
Yunus Muhammad, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta ; Pustaka Mahmudiyah, 1960.
[1]
Lihat Deliar Noer, Partai di Pentas
Nasional 1945-1965, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1987, h. 5.
[2] Sebuah komunitas yang bekerja di sektor
perekonomian (di pasar ) yang kemudian menjadi sebuah sebutan bagi sekelompok
masyarakat yang memiliki lebih banyak kebebasan dalam hal adat istiadat, mereka
lebih bebas dibandingkan dengan para pegawai atau menak (petinggi/ bangsawan
Sunda)...
[3] Lihat Majalah Risalah, Bandung
: Bagian Penyiaran PP. Persis, 1990, Mei, 12.
[4] Lihat Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1990-1942, Jakarta ; LP3ES,1980, h. 95-96.
[5]
Deliar Noer, Ibid, h. 96.
[6] Seorang pedagang yang memberikan perhatian
dalam masalah-masalah keagamaan. Ia berasal dari Padang dan bertempat tinggal
di Surabaya. Ia mempelopori kaum muda dalam perdebatan tentang masalah-masalah
agama dengan kaum tua di Surabaya.
[7] Deliar Noer, Loc. Cit.
[8]
Lihat Qanun Asasi dan
Qanun Dahili Persatuan Islam, Bandung : PP. Persis, 1968, h. 5.
[9] Ibid, h. 3-8.
[10] Seluruh Qanun Asasi (Anggaran
Dasar) Persis menyebut tanggal berdiri organisasi ini pada tanggal 12 September
1923. Kemudian KH. A. Ghazali melakukan perhitungan (Hisab) ke tahun hijriyah,
bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H. Konversi ini sesuai dengan konversi
program komputer ; Gregorian Conversion dari Adel A. Al-Rumaih, 1996-1997.
Qanun Asasi yang menulis tahun hijriyah baru terdapat pada Qanun Asasi Persis
hasil Muktamar kesebelas Persis di Jakarta tahun 1995.
[11] PP Persis, Op. Cit, h.
13-14.
[12] PP Persis, Ibid, h. 5-6.
[13] Lihat Howard M. Fiederspiel, Persatuan
Islam : Islamic Reform in Twenteith Century Indonesia, New York : Cornel
University, 1970, h. 11.
[14] Deliar Noer, Op. Cit, h. 97.
[15] Lihat KHM. Isa Anshary, Manifest
Perjuangan Persatuan Islam, Bandung : PP. Persatuan Islam, 1958, h. 6.
[16]
Safiq A Mughni, Op. Cit, h.67 ;
Federspeil, Op. Cit, h. 23.
[17] H. Endang Saifuddin Anshary dan Safiq Mughni,
Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid, Bangil : Almuslimun, 1984, h. 15.
[18] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam... Op. Cit,
h. 101.
[19]
Deliar Noer, Ibid.
[20] Howard M Federspiel, Persatuan Islam:
Pembaruan Islam Indonesia... Op. Cit, h. 23-24.
[21]
Lihat Majalah Dunia Madrasah, Tahun I
Nomor 8, 1953, h. 102-103.
[22] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam...
Op.Cit, h. 102.
[23] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam...Op.
Cit, h. 102; Federspiel, Persatuan Islam: ... Op. Cit, h. 24.
[24] Dalam Qanun Persatuan Islam Pasal 6 ayat 3
tentang murid pesantren, disebutkan bahwa murid pesantren harus berjanji akan
menjadi guru atau propagandis Perstatuan Islam.
[25]
Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta ; Pustaka Mahmudiyah, 1960, h. 259, lihat pula Majalah
Risalah, Bandung ; Bag. Penyiaran PP Persis, Juni 1962, h. 10; Federspiel,
Persatuan Islam... Op. Cit, h. 24-25.
[26] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam ... Op.
Cit, h. 102.
[27] Penyebab kepindahan A. Hassan dari Bandung ke
Bangil, dikarenakan adanya permintaan dari Bibi Wantee yang melihat penghidupan
A. Hassan di Bandung kurang menggembirakan, jika dilihat dari segi materi.
Namun demikian bagi A. Hassan kepindahannya itu tidak mematahkan perjuangannya
untuk menyebarkan paham Al-Qur’an dan As-sunnah sehingga kepindahannya diikuti
oleh para santrinya di pesantren Persatuan Islam. Rencana semula A. Hassan akan
menetap di Surabaya, tetapi kemudian ia mendapatkan tanah di Bangil. Di situlah
ia menetap dan mendirikan pesantren Persatuan Islam di Bangil. Semula, ketika
masih tinggal di Bandung ia dikenal dengan sebutan A. Hassan Bandung, karena
kepindahannya di Bangil, akhirnya ia dikenal dengan sebutan A. Hassan Bangil.
Lihat Syafiq A. Mughni, “Hasan Bandung ...,” Op. Cit., h. 69-71.
[28]
Syafiq A. Mughni, Ibid.
[29]
Lihat Majalah Risalah, Bandung : Bag. Penyiaran PP Persis, Juni 1962, h.
10.
[30]
Majalah Risalah, Ibid.
[31]
Komite pembela Islam
didirikan di Bandung pada bulan Ramdhan 1347 H (Maret 1929) oleh sejumlah kaum
muslimin terutama para anggota Persis yang mencemaskan nasib agama yang
dipeluknya yang sering kali menjadi bahan cemohan, tuduhan, dan celaan yang
dilakukan oleh orang-orang yang membencinya. Mereka menyerang dan menanamkan
kebencian terhadap Islam dan umat Islam. Komite Pembela Islam ini berada di
bawah naungan Persis yang dipimpin oleh Muhammad Zamzam dengan penasehatnya
adalah adalah A. Hassan.
Untuk menyebarluaskan aktivitas komite pembela Islam, terutama dalam
mengantisipasi setiap serangan, tuduhan, celaan, dan sejenisnya terhadap agama
Islam, kemudian diterbitkan majalah ‘’Pembela Islam” pada bulan Oktober 1929
yang dicetak di percetakkan milik A. Hassan. Lihat Ajib Rosidi, “M. Natsir...” Op.
Cit, h. 18.
[32] Pokok-pokok kegiatan Komite
Pembela Islam adalah : (1) mengumpulkan buku-buku, karangan-karangan, dan
selebaran-selebaran yang isinya mencela Islam, baik disengaja atau tidak; (2)
menolak dan menjawab celaan dan tantangan mereka melalui buku-buku , surat
kabar, selebaran, atau rapat-rapat umum; (3) mmberikan penerangan tentang
kebaikan Islam dalam masalah-masalah yang diributkan oleh para pembenci Islam;
(4) mengajak setiap orang dan Perkumpulan Islam untuk ikut mendirikan Komite
Pembela Islam di tempat masing-masing. Lihat Syafiq Mughni, “Hasan Bandung ...”
Ibid, h. 74.
[33]
Dalam kata pengantar majalah
Pembela Islam terbitan pertama disebutkan bahwa majalah ini diterbitkan
untuk-meneruskan cita-cita pembela Islam dengan cara mencuci bersih segala daki
sebagian umat Islam seperti khurafat, dan bid’ah yang telah, sedang, dan akan
menjadi sumber penghalang kemajuan Islam di mana-mana. Lihat Syafiq A. Mughni,
“Hassan Bandung ...” Ibid, h. 74.
[34] Sedemikian rupa perhatian Natsir
terhadap studi keislaman, sehingga ia menolak tawaran dari pemerintah kolonial
Belanda yang akan memberikan beasiswa kepadanya untuk belajar di sekolah tinggi
ilmu ekonomi Roterdam Belanda. Ia malahan memikirkan pendidikan di kalangan
anak-anak muslim. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam ... Op.Cit, h. 100.
[35]
Deliar Noer, “Gerakan
Modern Islam...,” Ibid.
[36]
Deliar Noer, “Gerakan
Modern...,” Ibid, h. 100. Lihat pula Endang Saifuddin Anshary dan Syafiq
Mughni, “Wajah dan Wijhah...”, Op. Cit., h. 15-16.
[37] Syafiq A. Mughni, “Hasan Bandung
...” Op. Cit., h. 74.
[38]
Howard M. Federspiel,
Persatuan Islam : Pembahuruan Islam Indonesia ... Ibid, h. 28.
[39]Howard M. Federspiel, Ibid,
h. 28-29.
[40]
Majalah Al-Lisan,
Bandung : Persatuan Islam, 1935, No. 1, h. 26.
[41]
Majalah Al-Lisan,
Bandung : Persatuan Islam, 1935, No. 2
[42]
Majalah Al-Lisan,
Bandung : Persatuan Islam, 1935, No. 4, h. 30-34.
[43]
Majalah Al-Lisan,
Bandung : Persatuan Islam, 1935, No. 5, h. 30-34.
[44]
Majalah Al-Lisan,
Bandung : Persatuan Islam, 1936, No. 1, h. 26.
[45]
Majalah Al-Lisan,
Bandung : Persatuan Islam, 1936, No. 3, h. 31.
[46]
Majalah Al-Lisan,
Bandung : Persatuan Islam, 1936, No. 3, h. 29.
[47]
Majalah Al-Lisan,
Bandung : Persatuan Islam, 1936, No. 89, h. 38.
[48]
Maklumat yang dikutip tidak
menggunakan ejaan penulisan seperti yang tercantum dalam majalah (naskah
aslinya), namun tidak mengubah isi dan maksud kalimatnya. Lihat majalah Al-Lisan,
Bandung : Persatuan Islam, 1973, No. 16, h. 38.
[49] Lothrop Stoddard, Dunia Baru
Islam, Jakarta : Panitia Penerbit, 1996, h. 316.
[50]
Praktek nyata dalam ibadah
berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah yang semula dianggap kontroversi, pada
perkembangan selanjutnya diikuti oleh umat Islam lainnya, tidak hanya umat
Islam pembaharu, namun termasuk pula
golongan tradisional. Lihat, H. Eman Sar’an, “Sejarah Persatuan Islam,” artikel
dalam Majalah Pemuda Persis, Tamadun, Bandung, 1972, h. No. 1.
[51] Lihat Majalah Risalah,
Bandung: PP. Persatuan Islam, Mei 1990, h. 15.
Komentar
Posting Komentar