Langsung ke konten utama

PERSIS dan Usaha Gerakannya

Oleh : Imam  Agus Taufiq

 

A.     Latar belakang

Akhir abad ke 19 merupakan momentum bagi kebangkitan dunia Islam. Kesadaran ini muncul setelah dunia Islam melihat perputaran roda sejarah berbalik: dunia barat maju dan dunia Islam terpuruk, bahkan Islam menjadi bulan-bulanan dunia barat yang Kristen itu. Dari realitas sejarah ini kemudian muncul gerakan yang mencoba untuk melakukan otokritik secara kritis dengan cara melakukan evaluasi sebab-sebab terjadinya perputaran roda sejarah yang berbalik itu.

            Menurut Abdullah (1995:539) gerakan ini lebih mengemuka di hampir dunia Islam  pada abad ke 20 dengan nama gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Tema sentral ide pembaharuan pemikiran

 dalam Islam di atas terletak pada kata kunci I’adatu al-Islam, yakni keinginan masyarakat Islam untuk mengembalikan peran dunia Islam dalam percaturan global peradaban dunia, yang dulu pernah dilakukan Islam. Salah satu wujud dari I’adatu al-lslam itu adalah Tajdid al-fahm, yakni memperbaharui kembali cara pandang dalam menjawab problematika yang berkembang dengan kembali kepada al-Quran dan al-Hadis. Tajdid al-fahm ini dilakukan karena kemunduran dunia Islam di akibatkan penempatan qaul ulama abad pertengahan dijadikan rujukan utama dalam menjawab persoalan kontemporer sehingga yang terjadi kemudian adalah bias-bias dan kekakuan karena qaul itu sendiri muncul dan dirumuskan berdasarkan setting sosial oleh ulama ketika masih hidup. Adapun tema sentral gerakan untuk memulihkan dunia Islam adalah pemurnian akidah, ibadah dan semangat ijtihad di tengah masyarakat singkretik dan masyarakat yang berorientasi taklid.

Menjamurnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam seperti yang berkembang di dunia Islam di atas juga berkembang di Indonesia yang muncul pada awal abad ke-20, yang salah satunya adalah Persatuan Islam (PERSIS). Berangkat dari hal itu, maka penulis tergelitik untuk mengkaji tentang Persatuan Islam (PERSIS) dan usaha gerakannya. 

B

A Sejarah berdirinya Persatuan Islam.

Pada permulaan abad ke-20, ketika rasa nasionalisme  bangsa Indonesia masih baru tumbuh, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi bangsa Indonesia dalam berhadapan dengan bangsa lain, bukan saja dengan pihak Belanda, tetapi juga dengan orang Cina. Ingatlah sebab berdirinya organisasi Sarekat Dagang Islam (1911, kemudian Sarekat Islam 1912) yang pada mulanya diarahkan sebagai reaksi terhadap rencana politik pengkristenan dari Gubernur Jenderal Idenburg serta menghadapi para pedagang Cina. Dengan ikatan terhadap Islam seperti ini berarti juga bahwa pada sejak tahun 1911 organisasi ini dapat menyebar ke seluruh penjuru tanah air; dari Aceh di sebelah Barat sampai ke Maluku di sebelah Timur yang meliputi berbagai lapisan masyarakat dari lapisan bawah sampai lapisan atas, karena telah didorong oleh rasa seagama (Islam). [1]

Namun, pada masa penjajahan kolonial Belanda umat Islam  dihadapkan pada situasi terjepit; agama Islam seringkali hanya dijadikan serangan, cemoohan, serta tuduhan dan celaan orang-orang yang tidak menyukainya. Semuanya itu dilancarkan baik  melalui lisan maupun tulisan, melalui  ceramah-ceramah, mimbar  gereja, pelajaran sekolah maupun berupa karangan yang dimuat dalam surat kabar serta majalah dalam berbagai bahasa, dengan maksud tiada lain untuk menanamkan benih-benih kebencian dalam hati kaum dan bangsa pribumi Indonesia terutama terhadap Islam dan pemeluknya.

Pada saat itulah, di sebuah gang (jalan kecil) bernama gang pak Gade banyak berkumpul kaum saudagar dan para pedagang yang sering disebut dengan “orang pasar”[2] meskipun sama kecilnya dengan gang yang lain dan tidak memiliki keistimewaan apa-apa, namun gang pak Gade inilah yang mencatat sebuah sejarah berdirinya suatu organisasi pembaruan Islam yang bersemboyan kembali kepada al-Qur’an dan sunnah serta membersihkan Islam dari khurafat dan bid’ah yang mengotorinya. Organisasi yang berdiri di gang pak Gade ini kelak dikenal dengan nama Persatuan Islam (PERSIS).[3]

Persis didirikan di gang pak Gade itu, sebuah gang di dalam kota Bandung pada permulaan abad ke-20 ketika orang-orang Islam di daerah lain te;ah terlebih dahulu maju dalam usaha untuk mengadakan pembaruan dalam agama (Islam).

Bandung kelihatannya agak lambat memulai gerakan pembaruan Islam dibandingkan dengan daerah-daerah lain, padahal cabang Sarekat Islam telah beroperasi di kota ini sejak tahun 1913. Kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan salah satu cambuk untuk mendirikan sebuah organisasi. Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan-pertemuan yang bersifat kenduri yang didakan secara berkala di rumah salah satu seorang anggota kerabat yang berasal dari Palembang, tetapi telah lama menetap di Bandung. Mereka adalah keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palembang dalam abad ke-18 yang mempunyai hubungan erat satu sama lain melalui hubungan perkawinan. Selain itu, adanya kepentingan yang sama antara yang satu dengan yang lain dalam usaha perdagangan serta dengan adanya kontak antara anggota-anggota generasi yang datang kemudian, dalam mengadakan study tentang agama ataupun kegiatan-kegiatan lain. Dalam pembicaraan  keseharian mereka, meskipun berasal dari Sumatera, tidak lagi  merasa bahwa mereka adalah orang-orang Sumatera, mereka telah  merasa benar-benar sebagai orang Sunda dan dalam pergaulan  sehari-hari mereka berbicara dengan bahasa Sunda.[4] 

Tamu-tamu yang hadir pada kenduri yang diadakan itu, tentu   saja terdiri pula dari orang lain di luar ketiga famili tadi, namun pada umumnya mereka senang sekali menerima undangan kenduri itu, antara lain di samping mempelajari agama Islam, juga tertarik kepada masakan Palembang yang populer. Selesai makan, masalahmasalah agama dan gerakan-gerakan keagamaan menjadi bahan  pembicaraan. Dalam pembicaraan-pembicaraan inilah terutama Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus dari lingkungan famili itu yang paling banyak mengemukakan pikiran-pikirannya, karena memang mereka mempunyai pengetahuan agama yang cukup luas. Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus sebenarnya adalah pedagang biasa, tetapi keduanya masih punya kesempatan dan waktu untuk memperdalam pengetahuan tentang agama Islam. Haji Zamzam (1894-1952) pernah menghabiskan waktunya selama tiga setengah tahun untuk belajar di Lembaga Dar al-Ulum Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah ia menjadi guru di Darul Muta’allimin, sebuah sekolah agama di Bandung sekitar 1910-an dan mempunyai hubungan dengan Syekh Ahmad Soorkati dari Al-Irsyad di Jakarta. Sedangkan Muhammad Yunus, yang memperoleh pendidikan agama secara tradisional namun pandai berbahasa Arab, tidak pernah mengajar, ia hanya berdagang, tetapi minatnya dalam mempelajari agama Islam tidak pernah hilang. Kekayaannya menyanggupkan ia untuk membeli kitab-kitab yang diperlukannya, juga untuk para anggota Persis setelah organisasi itu didirikan. [5]

Topik pembicaraan dalam kenduri itu bermacam-macam, misalnya masalah-masalah agama yang dimuat dalam majalah Al-Munir yang terbit di Padang, majalah Al-Manar yang terbit di Mesir, dan pertikaian-pertikaian antara Al-Irsyad dan Jamiat Khaer di Jakarta. Selain itu mereka pun menaruh perhatian pada organisasi-organisasi keislaman, seperti Sarekat Islam yang pada waktu itu mengalami perpecahan akibat pengaruh paham komunis yang bukan saja merupakan hal menarik untuk dibicarakan, tetapi juga merupakan hal yang menyebabkan kalangan pemuka agama di Bandung menjadi resah. Terlebih lagi setelah pengurus Sarekat Islam di Bandung mendukung kelompok komunis dalam kongres Sarekat Islam keempat di Surabaya pada tahun 1921, sehingga menyebabkan terjadi pula perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam Bandung. Dalam diskusi-diskusi itu, hadir pula Fakih Hasyim[6]  seorang ulama dari Surabaya yang berkunjung ke Bandung untuk keperluan perdagangan. [7]

Pertemuan-pertemuan dalam kenduri itu pada akhirnya menjelma menjadi kelompok studi (study club) dalam bidang keagamaan, para anggota kelompok tersebut dengan penuh kecintaan menelaah, mengkaji, serta menguji ajaran-ajaran yang diterimanya. Sedangkan di pihak lain, keadaan kaum muslimin Indonesia tenggelam dalam taqlid, jumud, tarekat, khurafat, takhayul, bid’ah, dan syirik sebagaimana terdapat di dunia Islam lainnya bahkan diperkuat oleh cengkraman kaum  penjajah  Belanda.  Para  anggota  kelompok  itu  semakin  lama  mengkaji ajaran Islam, semakin tahulah hakekat Islam sebenarnya dan mereka semakin sadar akan keterbelakangan dan kejumudan yang menyadarkan mereka untuk membuka pintu ijtihad dan mengadakan pembaruan serta pemurnian agama Islam di masyarakat. Untuk itulah mereka kemudian mengajarkan apa yang telah diketahuinya kepada sesama muslim lainnya di kampung halaman mereka. Sehingga dengan demikian secara tidak langsung; resmi atau tidak resmi, telah berdiri pula kelompok-kelompok penelaah seperti yang terdapat  di kota Bandung  di berbagai tempat di Indonesia. [8]

Setiap kelompok yang telah tersebar di berbagai tempat selalu mengadakan hubungan dengan kelompok pertama yang ada di kota Bandung dan selalu mengadakan hubungan satu sama lain. Dalam keadaan seperti ini telah terbentuk suatu  hubungan horizontal (mendatar) tanpa hubungan organisatoris yang resmi atau berdasarkan satu nizham jam’iyah yang pasti. Oleh karena itu dengan maksud agar perjuangan serta jihad yang telah dilakukan oleh setiap kelompok itu lebih berkemampuan lagi, maka dengan resmi didirikanlah sebuah organisasi yang mempunyai hubungan vertikal dengan satu nizham jam’iyah yang pasti dan disusun bersamasama. Kelompok studi pengkajian Islam itu kemudian menamakan  kelompoknya dengan nama “Persatuan Islam” walaupun pada saat  itu ada juga yang memberi nama “Permupakatan Islam.”  [9]

Persis didirikan secara resmi pada hari Rabu tanggal 1 Shafar  10 1342 H bertepatan dengan tanggal 12 September 1923[10] di Bandung  oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas  keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Dengan demikian, sebagai organisasi formal yang berdiri secara resmi, maka Persis telah merupakan wadah  organisasi dari umat Islam. Nama Persatuan Islam itu diberikan dengan maksud mengarahkan ruh ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak organisasi yaitu; Persatuan pemikiran Islam, Persatuan rasa Islam, Persatuan usaha Islam, dan Persatuan suara Islam. Bertitik tolak dari persatuan pemikiran, rasa, usaha, dan suara Islam itu maka jam’iyah atau organisasi itu dinamakan ‘Persatuan Islam’ (Persis).

Selain itu, nama tersebut diilhami pula oleh firman Allah dalam Al-Qur’an suci surah Ali ’Imran ayat 103, yang berbunyi; “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian  pada  tali  (undang-undang/ aturan)  Allah  seluruhnya  dan  janganlah kamu bercerai”, serta sebuah hadits nabi yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, yang berbunyi; “Kekuatan Allah itu bersama jama’ah”. Firman Allah dan hadits nabi tersebut kemudian dijadikan motto Persis dan tertera di dalam lambang Persis dalam lingkaran bintang bersudut dua belas.[11] 

Pada mulanya Persis terbentuk dan berdiri pada masa penjajahan kolonial Belanda itu tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan para pendirinya atau kebutuhan masyarakat pada masa itu. Para pendirinya tidaklah mendapatkan kepentingan diri mereka di dalamnya, tetapi mereka mendirikannya karena merasa terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah dari Allah SWT sebagaimana Rasulullah SAW, berdiri di atas bukit Shofa menyatakan kerasulannya tidaklah berdasarkaan atas kepentingan dirinya. Para pendiri Persis mendirikannya bukan disebabkan oleh karena masyarakat membutuhkannya, karena sesungguhnya masyarakat Islam Indonesia ketika itu tidak membutuhkan suatu perombakan tatanan kehidupan keislaman, sebab mereka telah tenggelam dalam biusan taqlid, jumud, khurafat, bid’ah, takhayul serta syirik. Oleh karena itu Persis tidak berdiri atas kebutuhan masyarakat,  sebagaimana masyarakat jahiliyah tidak membutuhkan kedatangan  Nabi Muhammad SAW yang hendak mengubah mereka, sehingga mereka memusuhi, menghina, dan mengancamnya. Persis didirikan karena ia diperlukan keberadaannya, sebagaimana kedatangan Rasulullah SAW diperlukan sebagai pembaharu dan perombak masyarakat jahiliyah. Persis berdiri di atas dasar dan landasan kewajiban akan tugas Ilahi untuk mengangkat umat dari jurang kemandegan berpikir dan ketertutupan pintu ijtihad.[12] 

Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad ke-20, Persis mempunyai ciri tersendiri, kegiatannya dititik beratkan pada pembentukan paham keagamaan. Sedangkan kelompok-kelompok yang telah diorganisasikan, misalnya Budi Utomo yang didirikan pada tahun 1908, hanya bergerak dalam bidang pendidikan bagi orang-orang pribumi (khususnya bagi orang-orang Jawa), sementara Sarekat Islam yang didirikan pada tahun 1912 hanya bergerak untuk kemajuan bidang perdagangan dan politik. Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912, gerakannya diperuntukkan bagi kesejahteraan sosial masyarakat muslim dan kegiatan pendidikan keagamaan.[13] 

Sebagai suatu organisasi perjuangan yang bertujuan untuk  menyusun dan menciptakan masyarakat yang berjalan di dalamnya ajaran dan hukum Islam, Persis mempunyai pandangan dan analisis perjuangan yang sesuai dengan dasar keyakinannya. Selama zaman kolonial Belanda (sejak awal berdirinya) Persis menitik beratkan perjuangannya pada penyebaran dan penyiaran paham dan aliran Qur’an-Sunnah kepada masyarakat kaum muslimin, dan bukan untuk memperbesar atau memperluas jumlah anggota dalam organisasi. (Anshary, 1958:6). Persis pada umumnya kurang memberi tekanan pada kegiatan organisasi itu sendiri, ia tidak terlalu berminat untuk membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota. Pembentukan cabang bergantung semata-mata pada inisiatif peminat dan tidak didasarkan kepada suatu rencana yang dilakukan oleh Pimpinan Pusat.[14]    

Pada masa penjajahan Belanda, Persis memiliki dua sisi  perjuangan; ke dalam, Persis secara aktif membersihkan Islam dari paham-paham yang tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi terutama yang menyangkut aqidah dan ibadah serta menyeru umat Islam supaya berjuang atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan perjuangan ke luar, Persis secara aktif menentang dan melawan setiap aliran dan gerakan anti Islam yang hendak merusak dan menghancurkan Islam di Indonesia. Karena itulah segala aktivitas dan perjuangannya ditekankan pada usaha menyiarkan, menyebarkan, dan mengembangkan paham Al-Qur’an dan AsSunnah. Dengan demikian, usaha mengembangkan dan membina  organisasi tidak mendapat pelayanan yang wajar, di samping karena  tidak diniatkan hendak menjadikan Persis menjadi organisasi massa  Islam yang besar dan beranggota banyak. Persis malah berjuang  membentuk diri menjadi ‘kern’, menjadi intisari dari dan dalam  masyarakat kaum muslimin, ia mencari kualitas bukan kuantitas, ia  mencari isi bukan mencari jumlah.[15]  

B.     Usaha gerakan  Persatuan Islam

1.      Pendidikan

Dalam aktivitas penyebaran Al-Qur’an dan As-Sunnah  sebelum berdiri lembaga-lembaga pendidikan, pelajaran-pelajaran agama dan ilmu-ilmu lainnya diberikan dalam pertemuan-pertemuan dan ceramah-ceramah di tempat pertemuan organisasi  ini di kota Bandung. Acara tersebut lebih sering diselenggarakan  oleh para anggota Persis secara pribadi dari pada diselenggarakan  secara resmi oleh organisasi Persis. Dalam hal ini Haji Zamzam  menjadi pembicara penting terutama dalam menguraikan perihal  aqidah Islamiyah dan tata cara beribadat dalam Islam.[16]  Baru kemudian setelah A. Hassan bergabung dalam aktivitas Persis, maka penyebaran paham Al-Qur’an dan As-Sunnah semakin meluas terutama setelah didirikannya kelas pendidikan aqidah dan ibadah.[17] Kelas pendidikan aqidah dan ibadah dalam bentuk madrasah ini pada mulanya dimaksudkan untuk mendidik anak-anak dari anggota Persis, tetapi kemudian diperluas untuk anak-anak di luar anggota. Selain itu diselenggarakan pula kursus-kursus dalam masalah agama untuk orang-orang dewasa yang pada mulanya juga dibatasi hanya untuk para anggota Persis saja. Haji Zamzam dan A. Hassan sangat aktif mengajar pada kursus-kursus ini, dengan menyampaikan berbagai persoalan keagamaan terutama mengenai soal-soal keimanan serta permasalahan ibadat dengan menolak kebiasaan bid’ah. Masalah-masalah yang sangat menarik dan aktual pada waktu itu, seperti poligami dan nasionalisme, juga dibicarakan. Aktivitas penyelenggaraan kelas pendidikan aqidah dan ibadah serta kursus-kursus tersebut telah dimulai sejak tahun 1924.[18]

 Sekitar tahun 1927, sebuah kelas atau lebih tepat sebuah  kelompok diskusi, diselenggarakan oleh Persis untuk para pemuda yang sedang menjalani masa studinya pada sekolah-sekolah menengah pemerintah Belanda dan para pemuda yang ingin mempelajari Islam secara sungguh-sungguh. Dalam kelas ini A. Hassan bertindak sebagai guru, tetapi ia pun mengakui meskipun bertindak sebagai guru ia banyak belajar dari pembicaraan yang dilakukan dari kelompok diskusi itu yang menyebabkan dorongan baginya untuk memperoleh pengetahuan sendiri. Masalah-masalah yang muncul dalam diskusi-diskusi itu pula yang memberikan semangat kepadanya untuk lebih banyak lagi menggali sumber-sumber ajaran Islam. [19]

Pada tahun 1915, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan  izin tentang penyelenggaraan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh  masyarakat. Kesempatan seperti itu dimanfaatkan oleh Persis untuk menyelenggarakan sistem pendidikan menyerupai sekolah. Dalam tahun 1930, salah seorang anggota Persis A. Banama, mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis), yang digunakan Persis sebagai fasilitas pertama bagi sekolah menengah dan sekolah guru di Bandung. Organisasi pendidikan ini, yang akhirnya dipimpin oleh Mohammad Natsir pada tahun 1932, mendirikan sekolah menengah pertama (MULO); sebuah sistem pendidikan menengah yang lebih diperluas dan sekolah pendidikan guru di kota Bandung, dan di tahun 1938 telah memulai  membuka sekolah-sekolah di lima tempat lain di Jawa.[20]  Para pelajar sekolah menengah dan sekolah guru Persis itu harus mengikuti disiplin yang ketat. Pada masa penerimaan murid baru, misalnya, para pelajar itu harus membaca syahadat dan mengambil sumpah dengan menyatakan:

1.      Menjunjung tinggi agama Allah; tunduk dalam hati dan perkataan, dalam amal dan akhlak, turut kepada perintah Allah dan Rasulnya;

2.      Akan senantiasa memperdalam pengetahuan umumnya  dan dalam ilmu-ilmu keislaman khususnya yang diwajibkan Islam atas setiap muslim dan muslimat;

3.      Akan senantiasa usaha dengan tiada putusnya memperbaiki dan mendidik diri sampai menjadi mukmin dalam arti kata yang penuh;

4.      Wajib sembahyang;

5.      Tidak akan meninggalkan puasa wajib;

6.      Akan bersedekah pada jalan Allah berupa harta, pikiran, dan tenaga sekuatnya;

7.      Wajib menurut contoh-contoh yang disunatkan Rasul dan sahabat-sahabatnya;

8.      Wajib menganggap saudara yang tua sebagai bapak, ibu, atau kakak dan saudara yang muda sebagai anak atau adik, dan yang sesama sebagai saudara kandung menurut (sebagaimana) yang telah ditentukan oleh Islam;

9.      Wajib memakai pakaian menurut Islam;

10.  Haram menghampiri hal-hal yang melanggar kesopanan Islam dalam pergaulan lelaki dan perempuan;

11.  Haram minum arak dan sejenisnya;

12.   Haram berjudi;

13.   Haram berdusta;

14.   Haram berkhianat;

15.   Haram melanggar kesopanan terhadap ibu bapak, wajib berkhidmat kepada keduanya sebagaimana yang diwajibkan oleh agama Islam. [21] 

Selain itu, Mohammad Natsir mencoba mendirikan berbagai  lembaga pendidikan yang pada mulanya merupakan jawaban terhadap tuntutan dari berbagai pihak, termasuk beberapa orang yang mengambil pelajaran privat dalam pelajaran bahasa Inggris dan berbagai pelajaran lain kepadanya. Tuntutan-tuntutan tersebut muncul setelah melihat berdirinya sekolah swasta di Bandung pada waktu itu, yang di dalam sekolah-sekolah swasta tersebut tidak  diberikan pelajaran agama Islam. [22]

   Di samping lembaga Pendidikan Islam (Pendis), pada tanggal 4 Maret 1936 (10 Zulhijjah 1354 H) Persis mendirikan sebuah pesantren yang disebut “Pesantren Persatuan Islam” untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginaan menyebarkan agama Islam. Selain  itu tujuan utama mendirikan Pesantren Persatuan Islam itu adalah  untuk mencetak para muballighin yang mampu mendakwahkan,  mengajarkan, dan membela serta memelihara agama Islam di  mana pun mereka berada. Di Pesantren Persatuan Islam ini A. Hassan bertindak sebagai direktur dan kepala sekolah, sementara  Mohammad Natsir, yang telah menyelesaikan pelajaran pendidikan  guru yang disponsori oleh pemerintah Belanda, bertindak sebagai  penasihat dan juga sebagai guru. [23]

Pada awal berdirinya,  Pesantren Persatuan Islam ini menerima  pelajar sebanyak 40 orang yang datang dari berbagai daerah seluruh Indonesia, yang kebanyakan datang dari  Jawa. Pelajaran yang diberikan di Pesantren Persatuan Islam itu antara lain berbagai ilmu agama yang perlu dikuasai oleh seorang muballig[24]  Persis yakni seorang muballig yang menyampaikan ajaran Al-Qur’an, tajwid, sharaf, nahwu, tarikh, tafsir, hadits, khat, ushul fiqih, akhlak, bayan, badie, ma’ani, manthiq, bahasa Arab, serta ilmu-ilmu lainnya di luar ilmu agama seperti bahasa Melayu, ilmu hisab, ilmu alam, ilmu jurnalistik, serta berbagai ilmu pengetahuan yang dianggap perlu.

Di samping Pesantren Persatuan Islam itu (yang disebut pula pesantren besar, karena dikhususkan untuk para pemuda), diselenggarakan pula pesantren kecil (khusus untuk anak-anak kecil) yang berlangsung sore hari yang diikuti oleh anak-anak laki-laki dan perempuan tidak kurang dari 100 orang. Pesantren Persatuan Islam dan pesantren kecil tersebut bertempat di Jalan Pangeran Sumedang (sekarang jalan Otto Iskandardinata) di bawah asuhan A. Hassan (untuk pesantren Persatuan Islam) dan ustadz Hasan Hamid, yang sebelumnya adalah guru di sekolah Al-Irsyad di Jakarta. yang dibantu oleh ustadz Muhammad dan ustadz E. Abdurrahman   (untuk pesantren kecil).[25]  

 Pada tahun 1938 Persis mempunyai sekolah-sekolah setingkat HIS pada lima tempat di Jawa Barat. Muridnya terdiri dari anakanak setempat, tetapi beberapa diantaranya berasal dari Sumatera  (terutama Aceh), Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Menjelang tahun  1942, kira-kira terdapat 50 orang siswa telah berhasil menyelesaikan  studinya di MULO dan antara 30 dan 40 orang telah berhasil  menyelesaikan sekolah guru Persis. Para lulusan ini pada umumnya  kembali ke tempat asal mereka masing-masing dan membuka  sekolah-sekolah baru atau bergabung dengan sekolah-sekolah yang  telah ada yang diusahakan oleh organisasi-organisasi pembaharu  lainnya. [26]

  Setelah Pesantren Persatuan Islam berjalan kurang lebih  tiga tahun, Pesantren Persatuan Islam (pesantren besar untuk para pemuda) pindah ke Bangil pada bulan Maret 1940 termasuk A. Hassan[27]  dan Muhammad Ali Hamidi (putera ustadz Hasan Hamid) beserta sekitar 25 orang santri dari 40 orang santri angkatan pertama, yang ingin meneruskan pelajarannya turut pula pindah ke Bangil.[28]  Sedangkan Pesantren Persatuan Islam yang diselenggarakan untuk anak-anak terus berjalan di kota Bandung di bawah pimpinan ustadz E. Abdurrahman dan ustadz O. Qomaruddin, tempat dan waktu yang biasa dipergunakan oleh pesantren besar dipergunakan oleh Pendidikan Islam, HIS, MULO, dan Sekolah Guru Persatuan Islam.[29]   

Pada awalnya Pesantren Persatuan Islam, sebelum 1935, tidak  merupakan bagian dari jam’iyah yang diurus oleh Persis, tetapi merupakan pesantren yang mempergunakan tempat dan madrasah Persis karenanya ada kalanya guru-gurunya masih memberikan pelajaran yang berpaham kolot (tradisional).[30]  Namun demikian pada perkembangan selanjutnya setelah diresmikan berdirinya pesantren Persatuan Islam pada tanggal 4 Maret 1936 (1 Dzulhijjah 1354 H) lembaga-lembaga pendidikan yang mempergunakan tempat milik Persis berada di bawah naungan organisasi Persis, beserta pesantren Persatuan Islamnya. Hasilnya, para pemuda dan anak -anak yang dididik di pesantren Persatuan Islam dicetak menjadi  pelopor dan pemimpin Persis di masa mendatang serta di daerah-daerah tempat asalnya, mereka bertindak selaku muballig Persis  dan menjadi pelopor berdirinya cabang-cabang Persis di berbagai  tempat di seluruh Indonesia.

2. Publikasi

Pada suatu ketika, seorang pendeta berceramah tentang  kenabian Nabi Muhammad di hadapan murid-murid AMS yang diwajibkan mengikuti acara itu di gereja. Dalam acara ini  Mohammad Natsir dan Fachruddin Al-Khahiri (dua murid A. Hassan yang bersekolah di AMS) terpaksa mengikutinya. Dalam ceramahnya, sang pendeta yang pada mulanya hendak menguraikan tentang kenabian Nabi Muhammad dan Islam, ternyata menyampaikan ceramahnya hanya berisi dengan hinaan (terhadap Islam) tanpa dasar yang kuat. Menghadapi masalah seperti ini, Komite Pembela Islam[31]  mengambil tindakan dengan membuat pernyataan dan uraian yang dimuat dalam surat kabar untuk menunjukkan kekeliruan ceramah pendeta tersebut. Natsir ditugasi untuk membuat bantahannya. Pada awalnya redaksi surat kabar A.I.D. menolak, tetapi setelah Natsir menunjukkan bahwa ceramah itu sendiri dimuat, barulah redaksi bersedia menerima bantahan tersebut. Begitulah aktivitas Komite Pembela Islam menjalankan kegiatannya,[32] jika muncul masalah atau penghinaan terhadap Islam maka segera  muncul reaksi dan tanggapan untuk membantahnya. Reaksi, tanggapan, dan bantahan   dari Komite Pembela Islam ini muncul dalam majalah Pembela Islam yang mulai terbit sejak bulan Oktober 1929.[33]

Majalah Pembela Islam yang diterbitkan oleh Persis inilah yang memberikan kesempatan kepada Natsir dan A. Hassan untuk mengeluarkan pendapatnya. Natsir sangat menaruh perhatian terhadap berbagai persoalan yang muncul, terutama yang menyangkut masalah keislaman [34]  melalui majalah Pembela Islam sebagai penyalur ide dan pendapatnya. Majalah Pembela Islam merupakan cerminan dari sikap “menentang” Persis dengan   maksud untuk menegakkan ajaran-ajaran Islam yang dikecam oleh pihak-pihak yang membenci Islam, serta menyebarkan pemikiran-pemikiran dari Persis sendiri. Majalah Pembela  Islam dalam sirkulasinya mencapai 2000 eksemplar, sehingga dapat dikatakan tersebar di seluruh Indonesia, dengan penyebaran antara lain ke Sulawesi, Kalimantan, Minangkabau, dan Jawa Barat sendiri, bahkan tersebar pula di Malaya dan Muangthai. Para pembacanya terutama adalah golongan pembaharu, seperti para anggota Muhammadiyah dan Al-Irsyad.[35]        Publikasi majalah Pembela Islam ini terpaksa berhenti karena  kesulitan keuangan untuk biaya terbitnya yang semata-mata dipikul oleh A. Hassan   serta akibat larangan terbit yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1935 dengan alasan telah menyerang agama Kristen yang dilindungi oleh pemerintah. Pada akhirnya, majalah Pembela Islam setelah mencapai nomor 71 dalam kurun waktu enam tahun, pada tahun 1935 terhenti sama sekali.[36] 

Selain majalah Pembela Islam dalam bulan November 1931  Persis menerbitkan majalah Al-Fatwa dengan menggunakan bahasa Indonesia yang dicetak dengan huruf Arab.   Majalah ini isinya hanya membicarakan masalah agama semata-mata tanpa sikap menentang terhadap pihak-pihak bukan Islam. Sesuai dengan namanya Al-Fatwa majalah ini lebih banyak berisi pengetahuan-pengetahuan agama serta hukum-hukum Islam yang berdasarkan atas sumber aslinya, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selanjutnya majalah Al-Fatwa memuat ruang tafsir Al-Qur’an mulai dari surah  Al-Fatihah dan disambung dengan Juz Amma dari surat An-nas, ruang soal jawab tentang syah tidaknya suatu hadits, ruang keterangan tentang hadits-hadits dlaif (lemah) dan hadits maudlu (palsu) menurut kaidah kitab fikh, ruang soal jawab mengenai masalah-masalah agama dengan keterangan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, ruang pepatah-pepatah, dan ruang nasihat-nasihat dari tokoh-tokoh Islam pada masa lampau. Majalah Al-Fatwa ini diasuh oleh Muhammad Yunus, Haji Zamzam, Muhammad Ma’shum, dan A. Hassan.[37] Majalah Al-Fatwa  mempunyai sirkulasi sekitar 1000 eksemplar yang tersebar sampai ke Sumatera dan Kalimantan, serta kira-kira 100 pelanggan terdapat di Singapura. Publikasi  majalah Al-Fatwa ini terhenti pada bulan Oktober 1933 setelah terbit 20 nomor. 

Setelah majalah Pembela Islam dan Al Fatwa tidak terbit lagi, sebagai penggantinya terbitlah majalah Al-Lisan pada tanggal 27 Desember 1935. Sebagaimana majalah sebelumnya, majalah ini dijadikan pula sebagai alat untuk membentangkan garis-garis perjuangan Persis, serta sebagai alat propaganda dan penangkis serangan-serangan yang dilancarkan oleh lawan-lawannya. Majalah Al-Lisan nomor 1 sampai 46 terbit di Bandung, tetapi sejak bulan Mei 1940 mulai nomor 47 sampai dengan nomor 65 (nomor terbitan terakhir) terbit di Bangil bersamaan dengan pindahnya A. Hassan beserta beberapa orang muridnya ke Bangil. Majalah ini tidak terbit lagi sejak 1 Juni 1942 setelah menerbitkan  nomor dengan sirkulasi rata-rata mencapai 2000 eksemplar. 

Setelah itu, pada 1937 terbitlah majalah At-Taqwa berbahasa Sunda untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Sunda yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Majalah At-Taqwa  ini dipimpin oleh E. Abdurrahman dan O. Qomaruddin Saleh dengan isi yang tidak jauh berbeda dengan Al-Lisan. Majalah ini terbit sampai nomor 20 dan terhenti penerbitannya sejak tahun 1941, sirkulasinya mencapai 1000 eksemplar.  Pada tahun yang sama (1937) selain majalah At-Taqwa, terbit pula majalah Lasykar Islam yang merupakan kelanjutan dari majalah Pembela Islam. Dua tahun kemudian terbit kumpulankumpulan artikel yang diambil dari majalah Al-Lisan dengan judul  Al-Hikam (mutiara hikmah).  

Bagian penting dari semua penerbitan yang dikeluarkan oleh Persis adalah kolom Sual Djawab, dimana salah seorang staf editorialnya, biasanya A. Hassan tetapi kadangkala Haji Mahmoed Aziz atau Moenawar Chalil, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pembaca mengenai masalah-masalah penting  keagamaan, dari masalah ibadah hingga prilaku sosial dan politik.   Dalam menjawab berbagai persoalan tersebut, diambil dengan menggunakan literatur yang tepat dalam mengeluarkan fatwa atau keputusan agama, karena sumber-sumber keagamaan dipakai sebagai dasar bagi keputusan-keputusan itu. Format keputusan-keputusan itu sangat sederhana. Pertanyaan dari si penanya ditulis,  kemudian jawabannya merujuk kepada sumber-sumber tertulis yang  digunakan dan dituliskan dalam jawaban pada kolom ini; pertama  ditulis teks aslinya dalam huruf dan bahasa Arab, kemudian setelah  sisipan kata artinya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.  Kemudian dinyatakan pendapat dari si penjawab. Kutipan dari  sumber-sumber rujukan sengaja ditulis agar mendorong para  pembaca mempelajari aslinya jika ia mampu, di samping untuk  menunjukkan rujukan asli, terlepas dari kesulitan-kesulitan  terjemahan. Surat-surat pembaca kepada majalah Pembela Islam,  misalnya menunjukkan bahwa kolom Sual  Djawab dibaca dengan baik, bahkan koleksi fatwa yang terbit dalam publikasi-publikasi Persis di berbagai majalah telah diterbitkan dalam beberapa jilid selama tahun 1930-an dengan judul kolektif Sual-Djawab. 

Di samping publikasi-publikasi periodikal, Persis menerbitkan  pamflet-pamflet dan monograf-monograf singkat hasil karya para anggotanya, baik secara individual maupun kelompok yang merefleksikan filsafat dan pandangan organisasi. Kitab Pengadjaran Shalat dan At-Tauhid, yang masing-masing kemudian dicetak ulang berkali-kali, memuat sketsa lengkap semua keyakinan Islam ortodoks, yang dilengkapi sejumlah rujukan kepada Qur’an dan Hadits. Sejumlah buku lain, semisal Kitab Zakat dan Risalah Djoem’ah, dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang kewajiban dan perilaku agama kepada umat Islam. Serial buku,. terutama buku Kesopanan Tinggi dan Al-Moehtar, mengemukakan garis besar sejarah Islam dan mengagungkan sejarah Islam, yang terang-terangan bertujuan untuk meyakinkan umat Islam Indonesia akan kebesaran-kebesaran masa silam umat Islam di samping untuk  menghadapi kaum nasionalis sekuler, yang memandang  masa silam  Hindu Jawa sebagai jaman keemasan Indonesia.[38] 

Sejumlah buku juga ditulis untuk merangsang pembaruan-pembaruan dalam praktik religius kontemporer yang dianggap salah oleh anggota-anggota Persis, semisal praktik-praktik yang dijelaskan dalam Kitab Talqin Orang Wet (Kitab Talqin menurut Hukum Islam), yang memuat praktik-praktik penguburan yang berlaku dan dimaksudkan untuk menolak praktik-praktik yang biasa dilakukan oleh kaum tua. Selain itu, masalah ekonomi pun tidak luput dari perhatian Persis, meskipun tidak secara khusus mengkajinya. Bukubuku yang berjudul  Kitab Ribaa dan Risalah Pendjawab Debatan T. Soelaiman Thojib mengenai Kitab Ribaa, misalnya, digunakan untuk menjelaskan secara lengkap posisi Persis mengenai masalah bunga dan rente yang kemudian ramai didiskusikan oleh umat Islam pada tahun 1930-an yang disebabkan munculnya praktik ekonomi melalui bank, tabungan-tabungan, rekening-rekening, dan asuransi. Demikian pula Qamoes Al-Baja (Kamus Istilah), kamus ringkas istilah-istilah Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu, dan tafsir Qur’an dalam bahasa Melayu dan Sunda yang berjudul Al-Furqon hasil karya A. Hassan merupakan kamus dan tafsir AlQur’an pertama yang dipersiapkan oleh Persis. Selain itu, sejumlah  buku  dan pamflet yang ditulis oleh Sabirin yang berjudul Poeasa, Mengandung Pendidikan Hygiene (Kesehatan Toeboeh), Physick (Tabi’at), dan Moreele Dicipline (Boedi Pekerti), telah merefleksikan perhatian anggota Persis untuk mengkaji agama dengan pendekatan saintifik kontemporer. [39] 

3.      Tablig dan Dakwah

Penyebaran paham yang dilakukan oleh Persis, yakni paham  pemurnian ajaran Islam dengan mengembalikan umat kepada tuntutan Al-Qur’an dan As-Sunnah, selain dilakukan melalui forum perdebatan dan penerbitan majalah-majalah, dilakukan pula melalui kegiatan tablig dan khotbah di berbagai daerah yang dimotori oleh  para muballig Persis terkenal pada masa itu, seperti A. Hassan,  Muhammad Yunus, Muhammad Zamzam, E. Abdurrahman, Fachruddin Al-Khahiri, KHM. Romli, O. Qomaruddin, Abdul Razak, Abdullah Ahmad, Muhammad Ali, dan H. Azhari.

Pada tanggal 26 dan 27 Oktober 1935, di Gedung Persis Jalan Pangeran Sumedang, (sekarang Jalan Otto Iskandardinata) diadakan tablig akbar Persis pertama yang dihadiri oleh kira-kira 700 orang serta dihadiri pula oleh beberapa utusan dari Muhammadiyah dan PNI. Tablig akbar itu dimulai dari pukul 20.00 dan dipimpin oleh Fachruddin Al-Khahiri, dengan para pembicara antara lain Ustadz E. Abdurrahman yang membahas masalah mi’raj, Fachruddin Al-Khahiri yang menyampaikan asas Persis, dan pandangan umum yang disampaikan oleh H. Zain. Tablig akbar pertama itu dilanjutkan dengan tablig akbar kedua pada tanggal 23 Nopember 1935 yang juga bertempat di Gedung Persis dihadiri oleh sekitar 500 orang. Jumlah yang hadir pada tablig akbar kedua ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan tablig akbar pertama, karena pada saat pelaksanaannya turun hujan sangat deras sehingga menyebabkan kurangnya jamaah yang hadir. Pada tablig akbar kedua ini yang menjadi pembicara adalah K.H.M. Romli yang membahas masalah zakat, Ustadz O. Qomaruddin membahas masalah puasa, Ustadz E. Abdurrahman yang membahas masalah taqlid dan K.H. Azhari yang membahas zakat dan puasa. [40]

Selain di kota Bandung dan sekitarnya, tablig Persis juga dilaksanakan di luar Bandung, antara lain pernah dilakukan tablig keliling selama satu minggu antara tanggal 1 hingga 8 Januari 1936, mulai dari Cirebon sampai dengan Jakarta, lalu berturut-turut diadakan tabligh dan kursus kilat anti-Ahmadiyah di masjid Persis Gang Syafi’i dan di lembaga Pendidikan Islam Mr. Cornelis Jakarta. Selain itu dilakukan pertemuan dengan Pimpinan Cabang Persis Cianjur, dan tiba kembali di Bandung pada tanggal 8 Januari 1936. Dalam tablig keliling itu banyak dibicarakan masalah hukum Islam oleh Haji Zamzam dan A. Hassan.[41]

Dalam verslag ringkas tablig yang dikeluarkan oleh Pengurus  (sekarang Pimpinan Pusat) Persis, disebutkan tentang aktivitas tablig di luar kota Bandung lainnya, seperti tablig yang diselenggarakan di Meester Cornelis (Jakarta) pada tanggal 8 Maret 1936 oleh Haji Zamzam yang membahas masalah tauhid dan tarikh, sedangkan A. Hassan bertugas menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan. Pada tanggal 14 Maret 1936 diadakan tablig di Cikaso Leles Garut di rumah Pimpinan Cabang Persis Leles, H. Soedja’i. Dalam tablig tersebut Haji Zamzam membahas masalah tauhid serta membahas berbagai permasalahan keagamaan. Setelah itu, pada tanggal 15 Maret 1936 diadakan tabligh di rumah H. Zarkasih di Cimuncang Leles Garut. Di tempat lain, di Cianjur diadakan pula tablig akbar yang bertempat di gedung bioskop Roxy, pada tanggal 22 Maret 1936 oleh beberapa orang unsur pimpinan Persis seperti Haji Zamzam yang membahas masalah asas Persis, Mohammad Natsir membahas masalah keislaman, serta Ustadz E. Abdurrahman membahas nabi baru, sedangkan A. Hassan menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan.[42]  Tablig Persis dilaksanakan pula di berbagai daerah yang telah berdiri cabang Persis, seperti cabang Majalaya Bandung pada tanggal 18 April 1936 oleh Ustadz O. Qomaruddin yang membahas mengenai masalah agama dan ekonomi. Di cabang Betawi (Jakarta) pada tanggal 12 April 1936 bertempat di rumah Tuan Moehamsir di Kampung Utan Panjang Batavia diadakan tablig yang dihadiri oleh sekitar 100 orang. Di Tanjung Priuk dilaksanakan pula tablig akbar pada tanggal 18 April 1936 yang dihadiri oleh 500 jemaah, dengan para pembicara antara lain Tuan Mohammad Syah dari cabang Persis Betawi, Sa’id Mangoen, Ali Harahap, H. Tamim, Mohammad Ali serta A. Hassan. Tablig akbar kembali digelar pada tanggal 9 Mei 1936 di mesjid Empang Gang Abdoellah II (unielaan) Batavia yang dihadiri oleh 700 jamaah, dengan para pembicara antara lain Ustadz Abdurrazaq, Tuan Moegheni, Sa’id Mangoen, dan H. Tamim yang membahas masalah kemunduran umat Islam dan tauhid, sedangkan A. Hassan menjawab berbagai pertanyaan. Selain tablig akbar diadakan pula tablig bulanan di Masjid Penjambon Batavia. Di luar pulau Jawa dilakukan tablig akbar di cabang Kutaraja Aceh pada tangal 10 April 1936 dan dua hari kemudian, pada tanggal 12 April berlangsung di rumah Tuan Rassin dengan  membahas masalah asas Persis yang disampaikan oleh Tuan Hasbi,  masalah ibadah dibahas oleh Ustadz Rais, dan masalah bid’ah dibahas oleh Tuan H. Mingoen[43].   Gerakan penyebaran paham Al-Qur’an dan Sunnah oleh organisasi Persis terus berlangsung dan dijadwal secara rutin di berbagai tempat. Dalam perkembangannya tablig Persis itu banyak sekali memukau para jama’ah, sehingga jama’ah yang mengikuti tablig Persis dari waktu ke waktu terus bertambah. Selain dilakukan oleh para muballig pria, tablig Persis dilakukan pula oleh para mubalig wanita (mubaligah) yang membantu perjuangan Persis untuk menyampakan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah di kalangan kaum wanita. Para mubaligah Persis ini tergabung dalam bagian otonom Persis khusus para wanita (istri) yang disebut Persatuan Islam Istri (Persistri). 

Dalam aktivitasnya, Persistri melaksanakan beberapa kegiatan   keagamaan seperti acara tablig khusus kaum ibu yang dipimpin oleh Nyonya E. Abdurrahman dan Nyonya Dahniar. Tablig rutin Persistri ini dilaksanakan setiap hari Senin sore di Mesjid Persis Jalan Pangeran Soemedang Bandung. Jemaah yang mengikuti tablig Persistri itu tidak kurang dari 50 orang jemaah setiap kali tablig. Tablig ini tidak saja diikuti oleh ibu-ibu Persistri, tetapi juga ibuibu yang bukan anggota bahkan ibu-ibu dari organisasi-organisasi  Islam lainnya, seperti Muhammadiyah dan Syarekat Islam.[44]  Selain tablig umum yang rutin dilaksanakan pada setiap hari Senin sore, diadakan pula kegiatan lain sejenis kursus mubaligah yang dipimpin oleh Tuan A.D. Haani dan K.H. Muhammad Ramli. Materi pelajaran yang diberikan kepada ibu-ibu peserta Tamhiedul mubalighah (kursus mubalig bagi kaum wanita) antara lain pelajaran ilmu tauhid oleh ibu R. Maryam, pengajaran ayat-ayat Al-Qur’an oleh Nyonya Dahniar, pengajaran ilmu akhlak serta soal-jawab masalah-masalah  ubudiyah oleh K.H. Muhammad Ramli yang dibantu pula oleh Tuan A.D. Haani dan Tuan H. Azhari dalam berbagai masalah agama. [45]

Di luar Bandung Persistri melakukan aktivitas tablig khusus   untuk kaum ibu. Dalam Verslag Tablig Persistri, pada tanggal 23 Pebruari 1936 bertempat di sekolah pendidikan Islam Oude Tamarindelaan 152 (Kampung Lima) Batavia Centrum diadakan tablig Persistri Cabang Tanah Abang yang dikunjungi oleh sekitar 250 orang kaum ibu dan remaja puteri. Tablig umum ini dipimpin oleh Nyonya Karsach, dengan para pembicara antara lain Nona Nurjanah, Nyonya Salha, dan Nyonya Bintang. Tablig Persistri di Tanah Abang itu dilaksanakan  secara rutin dua kali dalam satu bulan.[46] 

Pada malam Ahad tanggal 12 September 1936, diadakan  tablig akbar Persistri untuk kaum ibu di Gedung Persis dengan menampilkan para pembicara antara lain; Siti Dahniar, Siti Malehah, Siti Aliyah, R.O. Hasanah, dan Siti Nurjanah. Setelah Persistri menyelenggarakan tablig akbar itu, diadakan pula tablig akbar umum untuk laki-laki dan perempuan pada malam Senin tanggal 13 September 1936 oleh Persis, dengan para pembicara antara lain Tuan Fachruddin, KH. Tamim, Kyai Zakaria, H. Bahaoeddin, Abdul Razak, dan Mohammad Natsir.[47] 

Untuk memantapkan dan mengendalikan aktivitas tablig para mubalig Persis, pada tanggal 1 April 1937 Pengurus Besar Persis mengeluarkan maklumat tentang penyajian materi tablig. Adapun isi maklumat tersebut adalah sebagai berikut:

1.      PERSATUAN ISLAM sebagai perkumpulan tidak menetapkan salah satu hukum agama atas nama perkumpulan; umpamanya Persis memutuskan ini halal, atau Persis memutuskan itu haram. PERSATUAN ISLAM berpendirian bahwa hukum agama yang berdasakan kepada Al-Qur’an dan Hadits, tidak perlu cap officiel yang diberi oleh salah satu perkumpulan. Masalahnya dikuatiri, bahwa cap officiel itu bisa menghalangi  kemerdekaan dalam menetapkan hukum Islam atau  memeriksa keterangan-keterangan agama, dan menjauhkan mereka dari pokok-pokoknya yang asal

2.      PERSATUAN ISLAM mempunyai satu bahagian pustaka yang memeriksa masalah-masalah agama dan menyiarkan keputusannya, yang diambil dengan alasan-alasan AlQur’an dan Hadits, sehingga bisa dipertimbangkan dan  dibandingkan oleh orang-orang yang membacanya.

3.      PERSATUAN ISLAM mengundang tiap-tiap muslim, untuk berdialog bilamana ia pandang keputusan itu keliru dengan membawa alasan-alasannya

4.      PERSATUAN ISLAM mewajibkan kepada mubalighmubaligh Persis supaya selalu memperhatikan tiap-tiap  masalah yang disiarkan oleh Persis bahagian pustaka juga  menegor bilamana mereka berpendirian  lain, dengan  membawakan alasan-alasan pendirian mereka pula

5.      Tegoran dalam kalangan Persis ini, menurut cara berikut:

a. Dengan surat langsung kepada P.B. Persis (Pengurus Besar Persatuan Islam) dan salinannya kepada Persis bahagian pustaka.

b.  Dengan rembukan yang teratur menurut organisasi.

6.      Persis bahagian pustaka bersedia setiap waktu ruju dari pendiriannya yang salah dan mengumumkan seluas-luasnya supaya menjadi perhatian dan pertimbangan tiap-tiap muslim yang membaca.

7.      Cara bantahan salah satu anggota atau mubaligh (dalam pers atau tabligh), sebelum menegor  atau bertukar pikiran terlebih dahulu sebagaimana yang dimaksud di atas (punt 5), sehingga dianggap bukan sebagai tegoran, melainkan sebagai cara yang merusak keamanan dalam perkumpulan. Cara membantah yang macam ini akan diurus oleh P.B. Persis menurut Qanun Persis. Tetapi isi bantahan yang macam ini pun akan mendapat perhatian yang penuh juga dari P.B.  Persis dan Persis bahagian pustaka sebagaimana perhatian  yang diberikan kepada tegoran yang teratur (lihat point 5).[48]  

Dengan keluarnya maklumat dari Pengurus Besar Persis, telah memberikan warna dan corak baru dalam aktivitas tablig yang diselenggarakan oleh Persis, baik yang diselenggarakan oleh organisasi maupun oleh anggota perseorangan. Selain itu, keterbukaan dalam mengungkapkan permasalahan dengan tidak mau benar sendiri, telah menarik massa untuk mengikuti tablig-tablig Persis di berbagai tempat. Persis dengan mubalig-mubalignya  yang sangat tajam dalam menyampaikan dakwah dan terkenal tajam  lidah, telah menggemparkan dunia Islam Indonesia dengan istilahistilah tajamnya dalam membasmi bid’ah, khurafat, takhayul, serta  paham-paham yang menyesatkan. Di samping kegegeran masyarakat  Islam yang ditimbulkannya, banyak ulama yang dibangunkan dari  “tidur nyenyaknya,” kemudian kembali menunaikan kewajiban  menghadapi masalah kemasyarakatan yang selalu berubah. Tidak  mengherankan kiranya apabila di kemudian hari dari Persis itu  timbul para pemimpin Islam yang berwatak.[49] 

Selain melalui tablig dalam menyebarkan pahamnya, Persis  melakukan pula serangkaian aktivitas nyata, terutama yang banyak dilakukan oleh Pemuda Persis.  Pemuda Persis tampil sebagai pelopor aktivitas sosial kemasyarakatan dan penggerak massa melakukan praktek ibadah menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Contoh aktivitas itu dilakukan oleh Pemuda Persis di kota Bandung menjelang Shalat Idul Fitri, dengan membagikan zakat fitrah secara langsung kepada fakirmiskin tidak kurang dari 500 orang. Penyelenggaraan pemungutan  dan  pembagian zakat fitrah menjelang shalat Ied dianggap oleh golongan tradisional sebagai upaya cari muka dan ingin dipuji. Namun meskipun demikian, praktik tersebut terus dilakukan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pemuda Persis juga mempelopori penyelenggaraan shalat Idul Fitri di lapangan (tidak di dalam masjid). Pada waktu itu Persis dan Pemuda Persis mendapat tantangan dan cemoohan yang luar biasa dari umat Islam lainnya,  sehingga pada saat penyelenggaraan shalat Ied yang pertama di lapangan (dengan tujuan ingin melaksanakan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang berlangsung di lapangan Tegallega Bandung, para Pemuda Persis serta anggota Persis dan para simpatisan lainnya tidak sedikit yang membawa golok, karena sebelumnya telah mendapat ancaman akan diserbu dan dikeroyok oleh umat Islam lainnya yang tidak sepaham karena dianggap lain dari yang lain. Tidak kurang pula polisi pemerintah kolonial Belanda menjaga lapangan Tegallega tempat berlangsungnya shalat Ied. Demikian pula dalam penyelenggaraan aktivitas nyata lainnya yang dilakukan Persis dengan bantuan Pemuda Persis, seperti pembagian daging hewan qurban pada saat hari raya Iedul Adha kepada fakir-miskin, serta penyelenggaraan khitanan masal yang pertama kali dilakukan Persis setiap hari raya Iedul Adha, juga banyak dicemoohkan orang, diejek, dan dicaci maki.[50] 

Demikianlah pada awal abad ke-20, antara tahun 1920-1930- 81 an, Persis telah  membawa arus gerakan pembaruan dalam dinamika pemikiran keislaman di Indonesia. Serangkaian aktivitas Persis yang mengibarkan panji kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah telah membawa perubahan fundamental terhadap kehidupan praktik keislaman. Meskipun pada tahap awal aktivitas Persis dilancarkan dengan isu-isu kontroversial dengan gebrakan-gebrakan yang membuat umat Islam lainnya kaget, namun tindakan ini telah memaksa pikiran-pikiran mereka lebih terbuka dan kritis. “Pintu” ijtihad pun dipaksa dibuka selebar-lebarnya.

Tidak hanya itu, dalam kemelut politik antara organisasi-organisasi gerakan politik kebangsaan dengan pemerintah kolonial  Belanda, Persis pun tidak pernah ketinggalan dalam upaya aktif  memperjuangkan berbagai tuntutan kepada pemerintah, terutama   dalam tuntutan Indonesia berparlemen. Persis ikut memberikan  bantuan dan dukungannya bersama-sama dengan partai politik  yang ada. Demikian pula Persis ikut tampil ke depan dalam mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap rencana undang-undang kolonial anti-poligami dalam volksraad pada tahun 1936. Soal poligami ini sudah semakin keras dibicarakan orang, karena tata cara perkawinan di Indonesia tidak akan menggunakan tata cara Islam, tetapi akan diadakan perjanjian sesuka hati antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan yang ditetapkan menurut undang-undang. Dalam usaha menentang poligami ini, Persis melakukannya  pula melalui perdebatan dan polemik. Bahkan ketika Soekarno  dengan massa PNI (Partai Nasional Indonesia) menolak poligami, Mohammad Natsir dari Persis tetap mempertahankan pendapat  berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah bahwa poligami tidak dilarang.

Kesimpulan.

A.    Persatuan Islam (Persis) merupakan sebuah organisasi Islam yang beridiri pada tahun 1923 di Bandung. Organisasi ini berasal dari sebuah acara yang sangat sederhana yaitu kenduri. Didalam kenduri itu para anggotanya berbincang-bincang mengenai maslah keagamaan dan kegiatan keagamaan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Tokoh-tokohnya diantaranya adalah H. Zam-Zam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan dan Muhammad Nasir.

2.      Usaha-Usaha gerakan Persis : Pendidikan dengan mendirikan  kursus-kursus keagamaan, pendirian madrasah, pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam, pendirian pesantren, publikasi, tabligh dan dakwah.

B.     Saran

Penulis sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis berharap saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca guna kesempurnaan makalah berikutnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anshary, M. Isa, Manifes Perjuangan Persatuan Islam,  Bandung: PP. Persatuan Islam, 1958.

Deliar Noer; Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980.

Deliar Noer, Partai di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1987.

H. Endang Saifuddin Anshary dan Safiq Mughni, Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid, Bangil : Almuslimun, 1984.

Howard M., Federspiel., Persatuan Islam, Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, New York: Modern Indonesia Project Southeast Asia Program, Cornell University, 1970.

--------------, Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, terjemahan Yudian W. Asmin, dan H. Afandi Mochtar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.

Latif, Yudi., “Menuju Transformasi Dakwah Islam”, artikel dalam HU. Pi-kiran Rakyat, Bandung: 7 Juni 1991.

Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, Jakarta : Panitia Penerbit, 1996.

Majalah Risalah, Bandung: PP. Persatuan Islam, Mei 1990.

Majalah Pemuda Persis, Tamadun, Bandung, 1972,

Majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1973.

Majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1935.

Majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1936.

Majalah Dunia Madrasah, Tahun I Nomor 8, 1953.

Majalah Risalah, Bandung : Bagian Penyiaran PP. Persis, 1990.

Muhtadi, Asep S, Kyai dan Politik Pembaharuan: Kasus Persatuan Islam, makalah tidak dipublikasikan, Semarang, 1408 H.

Mughni, Syafiq A., Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.

Mukhtar, Ibnu., Imam Bukhâri Dalam Sorotan, Tanggapan Atas Jawaban Agus Efendi, Thadzibul Washiyyah, Gumuruh, Bandung, 1994.

Nasution, Harun, dan Azyumardi Azra, (Eds.), “Perkembangan Modern dalam Islam”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.

--------------, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: P3ES, 1985.

Natsir, M., Capita Selecta I-II, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Qanun Asasi dan Qanun Dahili Persatuan Islam, Bandung : PP. Persis, 1968.

Saifuddin Anshari, Endang., Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan      Umatnya”, Bandung: Pustaka, 1983.

Yunus Muhammad, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta ; Pustaka Mahmudiyah, 1960.



[1] Lihat Deliar Noer, Partai di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1987, h. 5.

[2] Sebuah komunitas yang bekerja di sektor perekonomian (di pasar ) yang kemudian menjadi sebuah sebutan bagi sekelompok masyarakat yang memiliki lebih banyak kebebasan dalam hal adat istiadat, mereka lebih bebas dibandingkan dengan para pegawai atau menak (petinggi/ bangsawan Sunda)...

[3] Lihat Majalah Risalah, Bandung : Bagian Penyiaran PP. Persis, 1990, Mei, 12.

[4] Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, Jakarta ; LP3ES,1980, h. 95-96.

[5] Deliar Noer, Ibid, h. 96.

[6] Seorang pedagang yang memberikan perhatian dalam masalah-masalah keagamaan. Ia berasal dari Padang dan bertempat tinggal di Surabaya. Ia mempelopori kaum muda dalam perdebatan tentang masalah-masalah agama dengan kaum tua di Surabaya.

[7] Deliar Noer, Loc. Cit.

[8] Lihat Qanun Asasi dan Qanun Dahili Persatuan Islam, Bandung : PP. Persis, 1968, h. 5.

[9] Ibid, h. 3-8.

[10] Seluruh Qanun Asasi (Anggaran Dasar) Persis menyebut tanggal berdiri organisasi ini pada tanggal 12 September 1923. Kemudian KH. A. Ghazali melakukan perhitungan (Hisab) ke tahun hijriyah, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H. Konversi ini sesuai dengan konversi program komputer ; Gregorian Conversion dari Adel A. Al-Rumaih, 1996-1997. Qanun Asasi yang menulis tahun hijriyah baru terdapat pada Qanun Asasi Persis hasil Muktamar kesebelas Persis di Jakarta tahun 1995.

[11] PP Persis, Op. Cit, h. 13-14.

[12] PP Persis, Ibid, h. 5-6.

[13] Lihat Howard M. Fiederspiel, Persatuan Islam : Islamic Reform in Twenteith Century Indonesia, New York : Cornel University, 1970, h. 11.

[14] Deliar Noer, Op. Cit, h. 97.

[15] Lihat KHM. Isa Anshary, Manifest Perjuangan Persatuan Islam, Bandung : PP. Persatuan Islam, 1958, h. 6.

[16] Safiq A Mughni, Op. Cit, h.67 ; Federspeil, Op. Cit, h. 23.

[17] H. Endang Saifuddin Anshary dan Safiq Mughni, Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid, Bangil : Almuslimun, 1984, h. 15.

[18] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam... Op. Cit, h. 101.

[19] Deliar Noer, Ibid.

[20] Howard M Federspiel, Persatuan Islam: Pembaruan Islam Indonesia... Op. Cit, h. 23-24.

[21] Lihat Majalah Dunia Madrasah, Tahun I Nomor 8, 1953, h. 102-103.

[22] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam... Op.Cit, h. 102.

[23] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam...Op. Cit, h. 102; Federspiel, Persatuan Islam: ... Op. Cit, h. 24.

[24] Dalam Qanun Persatuan Islam Pasal 6 ayat 3 tentang murid pesantren, disebutkan bahwa murid pesantren harus berjanji akan menjadi guru atau propagandis Perstatuan Islam.

[25] Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta ; Pustaka Mahmudiyah, 1960, h. 259, lihat pula Majalah Risalah, Bandung ; Bag. Penyiaran PP Persis, Juni 1962, h. 10; Federspiel, Persatuan Islam... Op. Cit, h. 24-25.

[26] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam ... Op. Cit, h. 102.

[27] Penyebab kepindahan A. Hassan dari Bandung ke Bangil, dikarenakan adanya permintaan dari Bibi Wantee yang melihat penghidupan A. Hassan di Bandung kurang menggembirakan, jika dilihat dari segi materi. Namun demikian bagi A. Hassan kepindahannya itu tidak mematahkan perjuangannya untuk menyebarkan paham Al-Qur’an dan As-sunnah sehingga kepindahannya diikuti oleh para santrinya di pesantren Persatuan Islam. Rencana semula A. Hassan akan menetap di Surabaya, tetapi kemudian ia mendapatkan tanah di Bangil. Di situlah ia menetap dan mendirikan pesantren Persatuan Islam di Bangil. Semula, ketika masih tinggal di Bandung ia dikenal dengan sebutan A. Hassan Bandung, karena kepindahannya di Bangil, akhirnya ia dikenal dengan sebutan A. Hassan Bangil. Lihat Syafiq A. Mughni, “Hasan Bandung ...,” Op. Cit., h. 69-71.

[28] Syafiq A. Mughni, Ibid.

[29] Lihat Majalah Risalah, Bandung : Bag. Penyiaran PP Persis, Juni 1962, h. 10.                

[30] Majalah Risalah, Ibid.

[31] Komite pembela Islam didirikan di Bandung pada bulan Ramdhan 1347 H (Maret 1929) oleh sejumlah kaum muslimin terutama para anggota Persis yang mencemaskan nasib agama yang dipeluknya yang sering kali menjadi bahan cemohan, tuduhan, dan celaan yang dilakukan oleh orang-orang yang membencinya. Mereka menyerang dan menanamkan kebencian terhadap Islam dan umat Islam. Komite Pembela Islam ini berada di bawah naungan Persis yang dipimpin oleh Muhammad Zamzam dengan penasehatnya adalah adalah A. Hassan. Untuk menyebarluaskan aktivitas komite pembela Islam, terutama dalam mengantisipasi setiap serangan, tuduhan, celaan, dan sejenisnya terhadap agama Islam, kemudian diterbitkan majalah ‘’Pembela Islam” pada bulan Oktober 1929 yang dicetak di percetakkan milik A. Hassan. Lihat Ajib Rosidi, “M. Natsir...” Op. Cit, h. 18.

[32] Pokok-pokok kegiatan Komite Pembela Islam adalah : (1) mengumpulkan buku-buku, karangan-karangan, dan selebaran-selebaran yang isinya mencela Islam, baik disengaja atau tidak; (2) menolak dan menjawab celaan dan tantangan mereka melalui buku-buku , surat kabar, selebaran, atau rapat-rapat umum; (3) mmberikan penerangan tentang kebaikan Islam dalam masalah-masalah yang diributkan oleh para pembenci Islam; (4) mengajak setiap orang dan Perkumpulan Islam untuk ikut mendirikan Komite Pembela Islam di tempat masing-masing. Lihat Syafiq Mughni, “Hasan Bandung ...” Ibid, h. 74.

[33] Dalam kata pengantar majalah Pembela Islam terbitan pertama disebutkan bahwa majalah ini diterbitkan untuk-meneruskan cita-cita pembela Islam dengan cara mencuci bersih segala daki sebagian umat Islam seperti khurafat, dan bid’ah yang telah, sedang, dan akan menjadi sumber penghalang kemajuan Islam di mana-mana. Lihat Syafiq A. Mughni, “Hassan Bandung ...” Ibid, h. 74.

[34] Sedemikian rupa perhatian Natsir terhadap studi keislaman, sehingga ia menolak tawaran dari pemerintah kolonial Belanda yang akan memberikan beasiswa kepadanya untuk belajar di sekolah tinggi ilmu ekonomi Roterdam Belanda. Ia malahan memikirkan pendidikan di kalangan anak-anak muslim. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam ... Op.Cit, h. 100.

[35] Deliar Noer, “Gerakan Modern Islam...,” Ibid.

[36] Deliar Noer, “Gerakan Modern...,” Ibid, h. 100. Lihat pula Endang Saifuddin Anshary dan Syafiq Mughni, “Wajah dan Wijhah...”, Op. Cit., h. 15-16.

[37] Syafiq A. Mughni, “Hasan Bandung ...” Op. Cit., h. 74.

[38] Howard M. Federspiel, Persatuan Islam : Pembahuruan Islam Indonesia ... Ibid, h. 28.

[39]Howard M. Federspiel, Ibid, h. 28-29.

[40] Majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1935, No. 1, h. 26.

[41] Majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1935, No. 2

[42] Majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1935, No. 4, h. 30-34.

[43] Majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1935, No. 5, h. 30-34.

[44] Majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1936, No. 1, h. 26.

[45] Majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1936, No. 3, h. 31.

[46] Majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1936, No. 3, h. 29.

[47] Majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1936, No. 89, h. 38.

[48] Maklumat yang dikutip tidak menggunakan ejaan penulisan seperti yang tercantum dalam majalah (naskah aslinya), namun tidak mengubah isi dan maksud kalimatnya. Lihat majalah Al-Lisan, Bandung : Persatuan Islam, 1973, No. 16, h. 38.

[49] Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, Jakarta : Panitia Penerbit, 1996, h. 316.

[50] Praktek nyata dalam ibadah berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah yang semula dianggap kontroversi, pada perkembangan selanjutnya diikuti oleh umat Islam lainnya, tidak hanya umat Islam pembaharu, namun  termasuk pula golongan tradisional. Lihat, H. Eman Sar’an, “Sejarah Persatuan Islam,” artikel dalam Majalah Pemuda Persis, Tamadun, Bandung, 1972, h. No. 1.

[51] Lihat Majalah Risalah, Bandung: PP. Persatuan Islam, Mei 1990, h. 15.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menangkal Digiseksual di Era Modern

  Oleh :  Imam Agus Taufiq  Munculnya Revolusi Industri pada tahun 1784 menuntut manusia untuk menciptakan berbagai hal yang mampu meringankan pekerjaan. Waktu silih berganti, seiring berjalannya jarum jam , revolusi industri terus mengalami perkembangan, bahkan saat ini   sampai pada revolusi industri 4.0. Realita   ini sangat menguntungkan bagi manusia   seiring   perkembangan teknologi yang semakin cepat melesat   membuat segalanya menjadi mudah. Manusia tidak perlu lagi bersusah payah dan dibuat pusing   dalam mengerjakan berbagai hal, karena semua pekerjaan telah diambil alih oleh teknologi. Revolusi Industri 4.0   memberikan banyak terobosan dalam teknologi di antaranya, komputer, gagdet , robot pintar, robotika, kecerdasan buatan atau AI ( Arificial Intelligence ), internet, kendaraan, dan lain sebagainya . Keterlibatan teknologi dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan manusia menjadi ketergantungan, di sisi lain teknologi juga memberikan pengaruh yang   besar dalam kehid

Usaha Berbuat Positif

Oleh: Imam Agus Taufiq Takwa yang biasa terdengar di telinga kita adalah usaha untuk selalu melaksanakan perintah Allah swt dan Rasulullah saw. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat Al Taghabun ayat 12 yang berbunyi: واطيعوا الله واطيعوا الرسول، فإن توليتم فإنما على رسولنا البلاغ المبين. "Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah swt dan Rasulallah, jika engkau berpaling maka sesungguhnya kewajiaban utusan hanya menyampaikan amanat Allah dengan jelas". Ayat tersebut menjelaskan kepada kita untuk selalu taat kepada Allah swt dan Rasulullah. Arti takwa di sini menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dari sabab musabab takwa inilah sumbernya keberuntungan dunia dan akhirat. Pekerjaan taat kepada Allah dan Rasulullah bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun. Apalagi di hari yang banyak kebaikannya yaitu hari Jumat. Harus kita ketahui bahwa Allah swt menjadikan hari Jumat, sebaik-baiknya hari bagi umat Islam. Salah satunya hari yang mulia yang disabdakan

Usaha Membangun Mood Menulis

  Oleh:  Imam Agus Taufiq Mengapa tidak menulis? Mengapa lama tidak menulis? Kiranya dua pertanyaan ini jika diajukan umumnya akan dijawab serupa, belum ada mood menulis. Solusi yang dilakukan adalah bagaimana membangun atau menciptakan mood menulis. Untuk menciptakan hal ini penting untuk menghadirkan atmosfer yang cocok untuk menulis.  Setiap penulis memiliki kebiasaan berbeda saat menulis. Misalnya seorang tokoh pahlawan nasional yang sudah banyak menelurkan banyak karya yaitu Tan Malaka di antaranya yang opus Magnum adalah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Tan Malaka menulis buku-bukunya dengan cara memanfaatkan jembatan keledai untuk mengingat apa yang kemudian ditulis.  Ketika masa kolonialisme Belanda, Tan Malaka menjadi pelarian bukan hanya pemerintah kolonial Belanda, namun juga pemerintah kolonial Inggris yang menguasai Malaya dan Singapura serta pemerintah Amerika Serikat yang menguasai Filipina. Dalam posisi dikejar-kejar inteljen pemerintahan kolonial tersebu