Komunikasi sebagai Sarana Menebar Energi Positif.
Imam Agus
Taufiq
Security IAIN Tulungagung
Menebar energi positif
itu memperindah kehidupan. Tidak hanya kehidupan individu, tetapi juga
kehidupan sosial. Betapa indahnya kehidupan ini jika sehari – hari sarat dengan
nilai – nilai kebajikan. Di mana – mana
kita bertemu dengan orang yang berbuat kebajikan. Komunikasi yang baik bukanlah
komunikasi yang penuh dengan
retorika, apalagi jika dilakukan
dengan niat yang tidak ikhlas. Banyaknya
teori tentang kecerdasan emosional telah mendorong orang untuk mampu
berbicara dengan sopan, santun, manis, memukau, dan menarik perhatian lawan
bicara. Namun demikian, ternyata banyak pula orang melakukan itu untuk mencapai
maksud–maksud tertentu yang justru merugikan lawan bicaranya. Mereka terjebak
dalam antropsentris dan egosentris yang menghalalkan berbagai cara dalam
berkomunikasi dalam mencapai suatu tujuan. Islam menyebutnya sebagai sikap
munafik. Sebuah sikap yang mencerminkan ambiguitas jiwa pelakunya. Perbuatan
yang dilakukan tidak sesuai dengan perkataan yang diucapkan.
Sebagai sebuah agama
sekaligus sistem nilai, Islam mengajarkan komunikasi berbasis akidah Islam.
Akidah yang mengakar kokoh akan membuahkan akhlak yang manis. Akhlak inilah
yang tercermin dalam sikap dan perilaku komunikasi manusia – komunikasi yang
disertai sifat pemaaf, suka mengajak pada kebenaran, berpaling dari orang –
orang bodoh, dan suka berlindung kepada Allah SWT dari godaan syetan ( QS. 7 :
199-201 ).
Islam menekankan kepada
pemeluknya untuk berhati – hati dalam berkomunikasi, kususnya dalam menggunakan
lidah. Lidah manusia lebih tajam dari sebilah pedang. Dengan lidah, seseorang
dapat mulia martabatnya, namun dapat pula jatuh reputasinya.
Allah SWT telah
memberikan lidah untuk berkomunikasi, mengungkapkan isi hati, pikiran, dan
perasaan kepada sesama sehingga orang dapat menjadi sedih atau senang. Dengan
kata – kata yang kita sampaikan, persaudaraan dan persahabatan dapat menjadi
akrab dan bertambah akrab. Rasulullah bersabda, “ Barang siapa beriman
kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau (
kalau tidak dapat ) hendaklah diam saja.” ( HR. Bukhari dan Muslim )
Lidah memang enak
dinikmati, tetapi kadang pahit dirasakan. Begitulah keadaannya.
Dalam Al – Qur’an ada enam prinsip
utama tentang komunikasi lisan sebagai wujud akhlakul karimah, yaitu (1 )
perkataan yang benar ( qaulan sadida), ( 2 ) perkataan yang baik ( qaulan
ma’ruufa ), ( 3 ) perkataan lemah lembut
(qaulan layyina), ( 4 )perkataan pantas, mudah dimengerti (qaulan maisuura), (
5 ) perkataan yang berbekas (qaulan baligha), dan (6) perkataan yang mulia
(qaulan karima). Sebaliknya, Allah SWT juga memperingatkan hamba-Nya untuk
menjauhi lima karakter lain dari komunikasi lisan yang akan merusak akhlak
seseorang, yaitu komunikasi lisan yang digunakan untuk (1) mencela, (2)
menghina, (3) menyombongkan diri, (4) berkata buruk, dan (5) berkata kasar.
Perkataan yang benar (Qaulan Sadida)
Al-Qur’an memberi contoh tentang
“perkataan yang benar”. Ketika seorang istri ditinggal mati suaminya, ia
meninggalkan warisan harta yang cukup serta anak laki-laki dan perempuan. Dalam
ajaran Islam bagian anak perempuan adalah separuh dari bagian anak laki-laki.
Oleh karena itu, ketika anak – anak tadi telah tumbuh dewasa, istri yang baik
akan menyampaikan perihal warisan dari suaminya, atau bapak dari anak – anaknya,
secara jujur meskipun anak – anaknya tidak menuntut karena merasa sudah
dipelihara dengan penuh kasih sayang. Ia
harus menjelaskan yang sebenarnya sesuai dengan syariah mengenai pembagian
masing – masing anak meskipun pembagian itu berbeda antara bagian anak laki -
laki dan anak perempuan.
Perkataan yang baik (Qaulan Ma’ruufa)
Dalam proses pemeliharaan
anak yatim yang telah mengetahui bahwa dirinya memiliki harta warisan yang
banyak dari orang tuanya, sedangkan pikiranya belum dewasa, kita dibolehkan
mengambil keuntungan dari harta itu sekedar untuk membiayai hidupnya, seraya
mendidiknya dengan ucapan-ucapan yang baik, tidak menyakitkan. Barulah setelah
cara berpikirnya benar-benar matang, harta waris yang menjadi haknya itu
diserahkan kepadanya. Allah SWT berfirman, yang artinya “Dan janganlah kamu
serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada
dalam kekuasaannya) yang dijadikan Allah SWT sebagai pokok kehidupan. Berilah
mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
qaulan ma’ruufa (kata-kata yang baik)”. ( TQS An-Nisaa 5 )
Perkataan yang Lembut (Qaulan
Layyina)
Sewaktu Fir’aun berbuat
semena-mena kepada rakyatnya dan menganggap dirinya sebagai tuhan yang harus
disembah oleh seluruh rakyatnya, Allah SWT memerintahkan kepada nabi Musa untuk
memperingatkannya dengan ucapan yang lemah lembut. Nabi Musa pun gelisah,
mengapa ?
Pertama, Fir’aun itu ayah
angkatnya sendiri yang telah memelihara dan mendidiknya masih bayi. Kedua, dia
adalah raja yang sangat besar kekuasaannya dan ditakuti oleh seluruh rakyatnya,
tidak ada yang berani melawannya. Ketiga, Fir’aun sedang memburu dirinya karena
telah membunuh orang yang masih satu rumpun dengan Fir’aun, padahal pembunuhan
itu tidak sengaja. Allah SWT pun sudah mengampuninya. Keempat, ia tidak dapat
berbicara lancar dan dengan tutur bahasa yang baik. Namun Allah SWT Yang Maha
tahu lagi Maha Perkasa memberikan bekal kepada nabi Musa. Pertama, diberinya
mukjizat berupa tongkat yang dapat berubah menjadi ular raksasa yang akan
menerkam siapa saja yang ada didepannya dan tapak tangannya dapat mengeluarkan
cahaya yang sangat terang benderang. Kedua, diberi seorang kawan yang tenang,
tidak emosional, mampu berkomunikasi lisan secara sistematis dan mudah dipahami.
Kawan itu adalah saudaranya sendiri, yaitu Harun AS. Ketiga, diberi do’a oleh
Allah sehingga dapat berkomunikasi lisan secara lancar, tidak terburu-buru,
tidak grogi, argumentatif, dan mudah dipahami. Keempat, dihilangkan rasa takut
dan khawatir. Setelah lengkap bekalnya, Allah SWT lalu berfirman, “pergilah
kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (TQS Thaaha : 43-4)
Dengan demikian, pada
saat kita menghadapi orang yang “sangat berkuasa”, Allah SWT mengajarkan untuk
berkata kepadanya dengan lemah lembut (qaulan layyina). Berkata dengan lemah
lembut bukan berarti merendahkan diri. Tidak. Akan tetapi, bahasa yang
diungkapkannya bahasa yang baik disertai alasan-alasan yang benar dan tegas
dalam memegang prinsip-prinsip kebenaran.
Perkataan yang pantas, mudah
dimengerti (Qaulan Maisuura)
Allah SWT memerintahkan
kita untuk berbuat baik kepada sesama, seperti kaum kerabat, handai tolan,
orang fakir miskin, dan para musafir. Ketika mereka datang meminta pertolongan,
jangan ditolak, tetapi penuhi sesuai dengan kepatutannya. Jangan berlebihan dan
boros sebab boros itu adalah kawannya syetan. Akan tetapi, bila kita tidak
memilikinya, katakan dengan sebenarnya dan berilah kegembiraan bila ada rezeki.
Demikian Allah SWT mengajarkan kepada para hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang
kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka qaulan maisuura (ucapan yang mudah
dimengerti).” ( TQS
Al Isra : 26-28)
Perkataan yang Berbekas di Hati
(Qaulan Baligha)
Perkataan
yang berbekas di hati (qaulan baligha) ini ditanamkam sebagai pelajaran hidup
dalam Al-Qur’an surat An-Nissa : 63 dan dilakukan terhadap orang-orang yang
jiwanya masih labil atau belum menerima kebenaran Islam secara mutlak.
Keislaman dalam diri mereka masih sebatas identias diri yang tidak jauh berbeda
dengan identitas lainnya, seperti status sosial, golongan darah, atau yang
lain. Mengaku Islam, tetapi tidak shalat atau sudah shalat, masih percaya
dukun, benda-benda keramat, dan bentuk-bentuk kemusyrikan lainnya. Ia
melaksanakan shalat, puasa, dan haji, tetapi pakaiannya tidak menutupi aurat.
Dalam
kitab-kitab Tafsir diungkapkan latar belakang turunnya QS An-Nisaa : 63 yang
berkaitan dengan perilaku orang-orang yang mengaku Islam, tetapi masih suka pergi
ke tukang tenung, meminta ramalan, dan lain sebagainya. Padahal sudah
diingatkan berulang kali, perbuatan mereka itu termasuk syirik yang sangat
dimurkai Allah SWT. Melihat kenyataan seperti itu Allah SWT berfirman, “Mereka
itu adalah orang-orang yang telah diketahui oleh Allah SWT isi hatinya. Karena
itu, berpalinglah kamu dari mereka, berilah mereka pelajaran, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (TQS An-Nisaa :
63)
Melalui
firman-Nya itu, Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk (1) berpling dari
mereka, jangan mau kompromi dengan paham kemusyrikan dan kebatilan, (2)
memberikan pelajaran tentang sikap mereka yang salah, dan (3) memberikan
perkataan yang membekas di hati mereka (qaulan baligha).
Perkataan
yang membekas di hati itu adalah perkataan yang benar-benar keluar dari lubuk
hati. Qaulan baligha artinya kata yang sampai kelubuk hati. Menurut Buya
Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, qaulan baligha itu mengandung fashahat dan balaghat.
Fashahat menunjukkan luasnya penguasaan ilmu, wawasan, dan amalan. Balaghat
menunjukkan kecerdasan dalam memilih dan mempergunakan setiap butir dari
kata-kata sehingga ketika diucapkan benar-benar mengena ke lubuk hati yang
paling dalam.
Dengan
perkataan yang membekas di hati itu, seseorang tidak mau lagi berbuat maksiat
dan dosa, serta terjauh dari sifat-sifat kemunafikan dan kemusyrikan.
Perkataan yang Mulia (Qaulan Karima)
Allah
SWT berfirman, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu (qaulan kariama).
“ (TQS Al-Isra : 23)
Melalui
ayat tersebut, kita memahami bahwa berbuat baik kepada orang tua ada di
peringkat kedua setelah beribadah kepada Allah SWT. Bahkan, kita tetap harus
mencintai, menghormati dan memelihara orang tua kita meskipun mereka musyrik
atau berlainan agama. Orang tua kita tetap berhak atas kebaikan dan
pemeliharaan kita di saat mereka tua dan tidak berdaya, namun mereka tidak
berhak atas ketaatan kita untuk mengikuti kemusyrikan atau agama mereka. Allah
SWT berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. “ (TQS Luqman :
15)
Di
samping mengajarkan prinsip-prinsip komunikasi lisan, Islam juga menanamkan
sikap dan karakter yang menyertai komunikasi. Dalam berkomunikasi, sikap yang
mencerminkan kemuliaan akhlak antara lain : berbicara yang baik saja, malu (tidak
ingin dipandang buruk oleh pihak lain dan malu kepada Allah SWT, rendah hati,
senyum, sabar, kuat atau tahan banting, pemaaf (tidak pedendam), menahan
amarah, zuhud, qonaah, wara’, dan suka menolong. Demikianlah karakteristik
pribadi mulia yang diajarkan oleh agama Islam dan semoga dapat kita tanamkan
pada diri kita dan kita dakwahkan kepada orang lain.
Komentar
Posting Komentar