Oleh:
Imam Agus Taufiq
Manusia pasti memiliki hasrat rasa cinta. Bagaimana pun bentuknya, kita pasti merasakannya. Cinta yang teragung dan paling utama adalah kecintaan pada Allah, kepada Rasulullah, dan jihad fisabilillah. Cinta fitri itu cinta pada orang tua, cinta istri pada suami dan sebaliknya, cinta orang tua pada anaknya. Bahkan cinta selain bentuk-bentuk di atas kita pasti memilikinya atau merasakannya.
Seiring bergulirnya waktu dan berbagai kejadian, suasana, bentuk dan warna cinta biasanya bisa silih berganti hinggap di hati. Ketika merasakan ujian atau musibah, hati kita bisa berbolak balik. Suatu ketika cinta kita kepada Allah terus berkembang dan bersemi indah dengan bunga-bunga ibadah kepadaNya. Namun ketika hati keruh , kita bisa melupakanNya sama sekali. Suatu ketika rasa cinta kita kepada Rasulullah memuncak, kita sering baca shalawat atau sering mendatangi majlis Rasulullah untuk bersholawat kepadaNya. Namun ketika ada problem kita bisa melupakanNya.
Berbicara cinta antar sesama manusia, ketika kita masih bujang, ternyata sungguh besar cinta kita kepada sang ibu. Namun ketika kita mempunyai istri atau suami, berkuranglah cinta kita kepada ibu. Dan beralih untuk lebih menyayangi istri atau suami. Ketika sang buah hati lahir, beralih kasih sayang kepada buah hati. Nampaknya semakin jauh jarak cinta kita kepada sang ibu. Bahkan tak jarang kita melupakannya. Ketika itu terjadi, maka patut kita bertanya pada diri kita, mengapa bisa terjadi seperti itu?
Mengapa setiap kita memperoleh sesuatu, anak yang lebih dahulu kita ingat? Mengapa setiap mendapat kabar gembira istri lebih dahulu kita beri kabar? Atau bahkan sang pacar kita yang terlebih dahulu mendapatkan prioritas, Naudzubillah. Dimana ibu kita? Sehingga pertama kali diingat anak kita, padahal dulu ibu kita melupakan dirinya untuk mengingat kita. Dimana ibu kita? Sehingga yang pertama kali mendapatkan kegembiraan adalah istri kita, padahal dulu sang ibu sering menunda kebahagiaannya hanya untuk melihat kita gembira. Ada juga sang suami yang membela istri dan mengutamakannya dan membelanya ketika ada salah paham dengan ibunya, padahal dulu ibunya mengutamakan dan membelanya ketika ada orang lain mengganggunya. Mengapa atas keseti kawanan kita mengalahkan ibu kita? Tidak hanya melupakan, ada juga seorang yang menganggap remeh dan enteng untuk membentak ibunya, hanya karena alasan ibunya lamban karena umur yang sudah udzur. Mereka lupa kalau Allah dan RasulNya melarang perbuatan seperti itu bahkan berkata "ah" saja dilarang oleh agama?
Membentak, menolak perintah atau bahkan sampai tidak mengakui ibu adalah dosa besar. Suatu ketika nabi pernah bertanya kepada para sahabat, "maukah kalian aku beri tahukan dosa-dosa besar yang paling besar?" Para sahabat menjawab, "Mau ya Rasulullah."Lalu beliau berkata, "Ada tiga, yaitu melakukan kemusyrikan, berbuat durhaka kepada kedua orang tua, "ketika mengucapakan ini beliau bersandar di dinding, kemudian beliau duduk dan melanjutkan kata-katanya, "dan melakukan kesaksian palsu."(H.R. al-Bukhari-Muslim). Secara khusus nabi juga bersabda, "Sesungguhnya Allah melarang kalian berbuat durhaka kepada kalian..."(H.R. al-Bukhari-Muslim).
Cinta ibu adalah cinta pertama kita. Namun banyak diantara kita yang melupakan cinta ini. Jika berbincang-bincang cinta pertama biasanya yang terbayang adalah cinta seorang pria kepada wanita atau sebaliknya. Ada juga yang membayangkan cinta saat muda, atau saat remaja bahkan kanak-kanak. Padahal siapa pertama kali mengenalkan kepada seorang anak tentang cinta?Siapakah yang menjabarkan cinta kepada kita?Siapakah yang menyentuh pertama dengan sentuhan lembut?Siapakah yang pertama memberi kita curahan kasih sayang?Siapakah yang pertama kali memberikan pengorbanan dan pembelaan kepada kita? Jawabnya "Ibu." Ibulah cinta pertama kita. Cinta yang lahir dari sentuhan lembut. Cinta yang lahir dari perkenalan pertama. Cinta yang lahir dari pendidikan pertama. Cinta yang lahir dari pengorbanan tanpa pamrih. Cinta yang lahir dari kelembutan hati. Cinta yang lahir dari pembelaan tanpa takut.
Dan bagaiamana cinta kita dengan sang ayah?Cinta kepada ayahpun adalah cinta pertama kita. Biarpun terkadang cinta sang ayah tak begitu tampak, namun ayah sebenarnya merupakan sosok penyayang dan pecinta kepada kita. Jadi wajar kalau kita juga mensejajarkan mencintai sang ayah sejajar dengan cinta kepada ibu, walaupun ibu memiliki keutamaan dan orang paling berhak diperlakukan dengan baik. Dalam sebuah hadits Bukhari- Muslim, dari Abu hurairah menceritakan, ada seorang laki-laki yang datang menghadap Rasulullah dan bertanya kepada beliau, "wahai Rasulullah, siapakah orang yang berhak untuk aku perlakukan dengan baik? " Rasulullah memjawab, "Ibumu" Orang itu kembali bertanya,"Lalu siapa?"Rasulullah kembali menjawab,"Ibumu"Orang itu kembali bertanya,"Lalu siapa?"Rasulullah kembali menjawab, "Ibumu"Orang itu kembali bertanya, "Lalu siapa?" Rasulullah kembali menjawab, "Setelah itu ayahmu."
Marilah menjaga cinta pertama kita. Cinta
dan sayang kepada orang tua kita, terutama ibu kita. Usahakan mengutamakan
beliau. Kita dahulukan beliau dari pada lainnya, beliau adalah madrasah awal
kita. Mari berbakti pada beliau. Kita hampiri beliau. Kita dekap dengan dekapan
hangat dan minta maaf serta meminta ridhanya, supaya Allah meridhai kita. Syukur-syukur kita masih bernafas lega dan masih ada kesempatan, kalau tidak sekarang kapan lagi kita mencintai mereka. Sungguh mulia derjat sang ibu. Derajatmu tiga tingkat dibanding ayah. Engkau
telah mengandung, melahirkan, dan menyusui. Kasih sayangmu sepanjang jalan.
Semoga kesehatan lahir batin selalu menyertaimu dan panjang umur. Semoga Allah
mengampuni dosamu dan menyayangimu selayaknya engkau menyayangiku di waktu
kecil. Aamiin...
Kalidawir, 07 Oktober 2020.
Ibumu, ibumu, ibumu. Baru setelah itu bapakmu. Catatan yang keren๐
BalasHapusTerima kasih bu Nur...
BalasHapusSungguh luar biasa seorang ibu...
Selalu mantab padat berisi
BalasHapusBerkat berguru ke bu Emi...
BalasHapusDan suportnya...