Imam Agus Taufiq
Dunia medsos saat ini digegerkan dengan aksi-aksi penolakan legalitas miras. Aksi tersebut dipicu oleh adanya Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 2021. Dan ini merupakan pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja yang biasa disebut Omnibus Law.
Dalam Perpres No 10 Tahun 2021 itu, ditetapkan bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di provinsi Bali, NTT, Sulawesi utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan lokal setempat.
Miras yang dilegalkan bukan sembarang katagori miras. Hanya miras yang menjadi bagian dari budaya dan kearifal lokal setempat, salah satu contohnya adalah arak Bali. Biarpun pelegalan miras di dasarkan pada bagian budaya dan kearifan lokal setempat, bagi saya itu kurang tepat dan tak setuju.
Selain itu, miras itu dapat membahayakan, memabukkan baik kadarnya sedikit atau banyak. Hukumnya juga haram dan termasuk barang najis. Begitu juga mudaratnya lebih banyak dari pada manfaatnya. Sebagai masyarakat agamis, kita tetap berpegang teguh pada kaidah fiqih yang masyhur yaitu "Dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil masahlih ( mencegah kerusakan lebih diutamakan dari pada mengambil kebajikan)."
Oke! Siapakah yang tak bangga, kalau negaranya berinvestasi, dan investasi itu baik. Tapi harus dikaji yang mendalam secara fit and proper test. Kalau memang investasi mengandung unsur mudarat yang membahayakan, maka tentu hal ini harus dicegah.
Semoga legalitas miras segera dicabut, dan pemerintah sadar segera membuat kebijakan baru yang lebih maslahah kepada rakyatnya sesuai kaidah fiqih yang masyhur " تصرف الامام على الراعية منوط باالمصلحة". Sehingga menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofurrun dan Gemak Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo. Aamiin...
Kalidawir, 2 Maret 2021.
Joss ndan, tolak Mirasantika hehe
BalasHapusWeh...lagune Rhoma Irama...
Hapus