Imam Agus Taufiq
"Dua kenikmatan yang banyak manusia terlena di dalamnya, yaitu kesehatan dan kesempatan." (HR. al-Bukhari)
"Andai rumahku bagus dan mewah seperti itu, tentu aku bisa tidur nyenyak dan tak perlu lagi khawatir kebanjiran, atau bocor bila turun hujan... "
Perasaan takjub dan sedikit penasaran kadang terlintas di benak atau hati kita. Ketika kita duduk di kendaraan pribadi atau ngegrabe yang melaju dari perumahan elit atau melewati jalan raya yang di samping kanan kiri berjajar rumah elite dengan kecepatan sedang, sering kali mata kita menatap keluar jendela, menatap ke semua yang kita lewati dengan mengandai-andai jika memiliki seperti apa yang kita lihat di sepanjang jalan. Dengan membayangkan rumah mewah, mobil bagus dengan segala kelengkapannya, yang membuat kita enak dan nyaman. Belum lagi melihat pemilik rumah keluar dengan pakaian indah menawan dilengkapi dengan perhiasan gemerlap. Subhanallah... andaikan memilikinya...
Pertanyaan yang patut kita ajukan pada diri sendiri adalah seandainya yang kita inginkan terpenuhi. Masihkah kita menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi? Atau jika sesuatu yang biasa kita andai-andai itu telah terpenuhi, bisakah kita menjaganya, mengoptimalkannya, dan mendayagunakannya sebaik mungkin?
Teringat sebuah ilustrasi menarik yang saya dapatkan dari sebuah acara santai "Ngopi" ngobrol perkoro Islam bersama santri. Pada waktu itu membicarakan kesuksesan kang santri public figure dengan segala versi yang ia dapatkan. Tak lama kemudian kang santri segera ke dapur dan memgambil seteko kopi panas serta beberapa cangkir kopi yang beraneka ragam. Mulai cangkir yang terbuat dari kristal, kaca, melamin, dan plastik. Kang santri langsung menyuruh bolo-bolo mengisi cangkir tersebut dengan kopi.
Setelah masing-masing mengisi cangkirnya dengan kopi. Kang santri lalu berkata. "perhatikanlah! Kalian semua memilih cangkir yang bagus dan kini tersisa cangkir hanyalah cangkir yang jelek, murah, dan tidak menawan." Memilih hal yang baik adalah wajar bagi kita dan manusia pasti senang hal baru. Namun persoalannya ketika kita mendapatkan cangkir yang bagus hati mulai terganggu. Secara otomatis melihat cangkir yang dipegang orang lain dan membandingkannya. Pikiran kita terfokus pada cangkir, padahal nyatanya yang kita nikmati bukanlah cangkirnya, tetapi kopinya.
Hidup kita laksana kopi, dalam analog tersebut di atas. Sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan, dan harta benda yang kita miliki. Jangan pernah membiarkan cangkir mempengaruhi kopi kita. Kita berpikir bahwa kekayaan yang melimpah, karir yang bagus, jabatan mentereng, dan pekerjaan yang mapan merupakan jaminan kebahagiaan. Itu salah besar! Justru kualitas hidup kita ditentukan apa yang ada di dalam, bukan yang ada di luar.
Apakah gunanya kita memiliki segalanya, akan tetapi kita tak merasakan kedamaian, suka cita, dan kebahagiaan dalam hidup kita? Apa gunanya kita memiliki segalanya, kalau tidak meningkatkan kualitas dan kuantitas amal ibadah dihadapan Allah subhanahu wata'ala? Itu sangat menyedihkan! Karena itu sama halnya menikmati kopi basi yang disajikan di sebuah cangkir kristal yang mewah dan mahal.
Berpandai-pandailah kita mensyukuri nikmat Allah dengan segala fasilitas yang kita terima dengan mempergunakan sebaik mungkin dan tidak berfoya-foya. Kematangan hidup kita sangat dipengaruhi oleh seberapa besar rasa syukur kita atas seluruh nikmat, anugerah, serta fasilitas yang Allah SWT telah berikan kepada kita.
Ketika kita ingin berbuat baik kepada orang tua, tentunya pertama kali yang bisa kita lakukan adalah mendeteksi dan menganalisa hal apa saja yang menjadikan orang tua senang dan menjadi kesukaannya. Dengan begitu, kita tak salah dalam melangkah untuk berbuat sesuai dengan apa yang disukai dan dicintai orang tua. Hal ini juga terjadi apabila kita ingin bersyukur kepada Allah SWT, semestinya kita harus mengetahui terlebih dulu hal apa saja yang menyebabkan Allah ridha terhadap kita, sehingga kita tak salah langkah dalam berbuat dan bertindak.
Dari mana kita tahu hal itu semua? Tak lain adalah kepekaan kita untuk senantiasa membaca dan mengkaji ayat-ayat Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW, selanjutnya kita harus bisa membaca hikmah dibalik penciptaan Allah SWT terhadapa apa yang ada di sekeliling kita. Sebab semua penciptaan yang ada di muka bumi ini pasti ada rahasia atau kemanfaatan yang Allah SWT tentukan atas segala mahlukNya. Barang siapa bisa mengambil pelajaran dan hikmah, otomatis ia tergolong orang-orang yang pandai bersyukur.
Adapun bersyukur kepada Allah SWT bisa dilakukan dengan hati, yaitu bersegera punya keinginan terpatri dalam hati untuk bisa melaksanakan kebaikan atas perintahNya. Atau juga bisa dilakukan dengan lisan, yaitu dengan senantiasa menempatkan segala kenikmatan mengucap tahmid, tahlil, dan tasyakur. Atau dengan anggota badan, yaitu dengan memaksimalkan kesehatan anggota badan untuk menjalankan perintahNya dan bersimpuh sujud syukur kepadaNya.
Ada sebuah kisah yang diceritakan dalam hadits, seorang laki-laki bertemu dengan sayyidina Umar bin Khattab dan ia mengucapkan salam kepada beliau. Lalu sayyidina Umar menjawab ucapan salam tersebut dengan ucapan "Waalaikum salam" sambil bertanya, "Bagaimana kabarmu pagi ini?"laki-laki menjawab, "Aku memuji kepada Allah SWT yang telah memberi segala kebaikan. "Sayyidina Umar berkata, "Jawaban inilah yang aku inginkan." (HR. at-Thabrani). Wallahu a'lam.
Kalidawir, 15 Februari 2021.
Komentar
Posting Komentar