Oleh
: Imam Agus Taufiq
“Terkadang
orang tua tidak menyadari kekeliruannya, namun sering melakukannya”
(Ir.
Hendro, MM)
Seorang
ibu yang bernama bu Tejo menjawab dengan nada agak malu dan gengsi pertanyaan
dari temenya yang bernama yu Ning mengenai anaknya yang pendiam. Wah,,, si Adi
memang anaknya seperti itu, seolah seperti anak bisu sehingga ia susah bergaul.
Begitu pula kalau berbicara dengan temanya. Lalu teman bu Tejo yang bernama yu
Ning membalas. “Apalagi anak saya bu Tejo. Sudah bodoh, malas lagi. Sekiranya
masih banyak pembicaraan orang tua mengenai anaknya. Macam-macam kata yang
dilontarkan orang tua kepada anaknya yang bersifat gengsi, malu, takut, atau
julukan buruk (cap) untuk anak supaya kehormatan, gengsi, dan harga diri orang
tua tetap terjaga. Itulah kiranya salah satu cara yang ingin mencari status
baik dimata teman-temannya. Dan yang jelas untuk menutupi kemaluannya.
Sebenarnya
semua bersumber pada satu hal, yaitu rasa takut dan malu. Namun rasa takut dari
orang tua sangat beraneka raagam. Lantas rasa takut apa yang sering terjadi?
Dibawah ini ada macam-macam rasa takut. Pertama, takut malu ditertawakan
temannya. Kedua, takut harga dirinya jatuh. Ketiga, takut anaknya dicap bodoh.
Keempat, takut anaknya gagal. Kelima, takut anaknya kuper (kurang pergaulan)
dan nasih banyak lainnya.
Namun,
menurut saya semua itu adalah persepsi dan pola pikir yang salah dari para
orang tua. Baik dari segi cara pandang atau dalam membimbing anak untuk
berpikir positif di segala hal. Orang tua yang berpikir positif dan maju pasti
menularkan positivisme kepada anaknya. Begitu pula sebaliknya. Jika oreang tua
berpikiran negatif, takut, dan malu, secara tidak langsung anak kita juga akan
berpikiran sama. Hal tersebut, secara tidak langsung akan membentuk karakter
dan paradigma yang salah karena faktor lingkungan. Karena ibu dan ayah ada
faktor yang sangat dominan, lebih-lebih sang ibu adalah madrasah pertama anak.
Pola pikir yang salah dan pengadilan yang hanya sepihak, secara otomatis dapat
menular ke anak. Jangan sampai ketidak tahuan akan menjadikan kisah penyesalan
orang tua ketika anak sudah tumbuh dan berkembang dewasa.
Untuk
itu, sebagai orang tua kita harus tahu warisan pola pikir yang harus dihindari
supaya kita sebagai orang tua tidak menyesal di kemudian hari. Dan apabila
terlanjur kita melakukan setelah kita tahu bahwa hal itu tidak baik, apakah mau
merubahnya atau tidak. Dalam buku “Smart Parenting Book Merancang Masa Depan
Anak Tips, Inspirasi, Dan Kisah-kisah Motivasi karya Ir. Hendro (2019 : 12)
dijelaskan bahwa pola pikir yang keliru dari orang tua kepada anak adalah
sebagai berikut :
Pertama,
membiarkan anak larut dalam kenyamanan. Sebagai orang tua kita perlu tahu,
bahwa memberikan kenyamanan saat ini sama dengan kita mewariskan kerja keras
pada anak nantinya. Kadang-kadang kita tidak menyadari bahwa rasa sayang dan
cinta pada anak atau ketakutan akan depresi anak membuat kita cenderung
memberikan selimut kenyamanan. Hal ini perlahan akan membuat anak tidak
mempunyai spirit untuk keluar dari kesulitan atau sering disebut anak tidak
memiliki “fighting spirit”. Sebagai orang tua harus mengurangi perlakuan
semacam ini, karena semangat juang yang tinggi adalah kunci kesuksesan anak di
masa mendatang.
Kedua,
hindari dan jangan biasakan menggunakan tiga kata yang kurang memotivasi anak. Dalam
hal ini kita dilarang menggunakan kata seandainya, karena kata seandainya
adalah kata kurang memotivasi hingga perlu dibarengi dengan sikap positif.
Menurut teori motivasi kata seandainya kurang dibenarkan karena sifatnya
cenderung menghibur diri sehingga kurang memacu semangat berpikir kreatif dan
berpikir untuk mencari solusi.
Ketiga,
tidak baik selalu menyalahkan diri sendiri. Menyalahkan diri sendiri untuk
tujuan menghindari ketidak mampuan, ketakutan akan gagal dan sebagainya.
Semuanya bersifat apatis atau pasrah, pola pikir seperti ini tidak baik. Orang
tua yang terus terang mengatakan dihadapan anak tau berbicara untuk anak, di
sisi lain membuat anak tidak bergairah atau
tidak bersemangat tinggi. Hal ini sama juga menjadikan anak layu dan mudah
pasrah pada keadaan.
Keempat,
senang menghibur diri dan memaklumi adalah awal dari kegagalan anak meraih masa
depan lebih baik. Menanmkan kepada anak betapa penting sebuah hasrat dan impian
untuk hidup lebih baik, lebih maju dan meraih suatu karya yang lebih tinggi.
Buatlah anak mempunyai keinginan yang menggebu-gebu. Dan kita menjadi
nahkodanya atau manajer bagi anak kita untuk membantu dan mengarahkannya.
Kelima,
membayangkan dan melamun saja tetapi tidak ada tindakan. NARO – “No Action Read
Only”. NADO – “No Action Dream Only”. NAPO – “No Action Plan Only” (Disadur
dari kata-kata seorang rektor perguruan tinggi yang saya kagumi). Sebagai orang
tua wajar memiliki mimpi dan imajinasi dalam bentuk keinginan agar anak sukses.
Bermimpi dan merencanakan masa depan anak memang penting sebagai parameter.
Namun, kapan bertindak juga tidak kalah penting. Jadi, kata pakar profesional
di bidang mutu, “kesuksesan memerlukan PDCAI (Plan-Do-Check-Action and
Improve). Pola ini harus diketahui orang tua agar bisa menamkan sejak dini
kemudian menuntunnya bagaimana mewujudkannya. Sebagimana istilah “no pain no
gain” tanpa rasa sakit, pengorbanan waktu, kerja keras, dan usaha maka akan
tiada hasil apa pun. Arahkan panah anak kita pada sebuah target, yaitu
cita-cita segera latihlah anak kita untuk belajar memanah meraih mimpi hingga
tepat sasaran.
Keenam,
menganggap diri anak sudah cerdas dan sempurna. Hampir kebanyakan orang
terpeleset karena batu kerikil, bukan karena batu besar. Apabila kita sudah
sampai ke titik kesempurnaan. Seolah kita terbang di awang-awang. Padahal kita
harus naik ke puncak setinggi-tingginya untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan
bidang pendidikan baru awal dari
kesuksesan sebenarnya. Itulah mengapa pepatah mengatakan diatas langit masih
ada langit. Oleh karena itu berpikirlah bahwa apa yang diperoleh anak kita
adalah sesuatu yang belum sempurna. Kesuksesan dalam hidup tidak tergantung pada
nilai akademik semata, tetapi butuh keahlian, pengetahuan dalam hidup yang
keduanya saling melengkapi. Pengetahuan dapat diperoleh dari belajar dibangku
sekolah, lingkungan, dan dari orang tua. Tetapi untuk masalah keahlian untuk
hidup diperoleh dari latihan, wawasan, pengalaman dan kejadian yang dialami
selama sang anak hidup baik anak hidup dalam keluarga, lingkungan, dan sekolah.
Alhasil pengetahuan dan keahlian bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan.
Semoga
kita menjadi orang tua atau calon orang tua yang memang benar-benar tahu
bagaimana membimbing anak dengan pola-pola pikir benar dan tidak
asal-asalan memaksa kepada anak. Sehingga tidak terjadi kegelishan dan
penyesalan di masa mendatang. Dan kita mempunyai generasi yang tangguh juga fit
and proper test. Aamiin...
Kalidawir,
Rabu Pon 9 September 2020.
pencerahan dalam persiapan membimbing anak Apk Agus, suwun tulisannya. Mantab
BalasHapusTerima kasih dosen muda berbakat....
BalasHapusMantap
BalasHapusTerima kasih sudah mau berkunjung...
HapusSangat bermanfaat sekali ilmunya.
BalasHapusTerima kasih.
Sebagai orangtua atau calon orangtua yang baik, semoga dapat memahami cara yang tepat dalam membimbing, juga mengarahkan anak"nya.
Kadang maksud baik orangtua yang tidak terimplementasi dgn baik, bisa saja memunculkan kesalahpahaman di antara keduanya.
Masuk mas!
BalasHapus