Langsung ke konten utama

Ikhtiar Santri di Musim Pandemi




“Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan…”

(Ibnu Sina)

Oleh : Imam Agus Taufiq


Musim Pandemi yang berkepanjangan sedang melanda negri ini tak kunjung pergi. Akibatnya berimbas pada aktivitas santri, sehingga gerak- gerik perilaku harus dibatasi dari kegiatan mengaji. Bahkan meraka harus dipulangkan secara paksa pada masa Pandemi ini, kecuali bagi santri yang lokasinya  zona merah  harus bertahan di pondok demi keselamatannya dari penularan virus  Covid-19.  

Tenyata santri mempunyai andil besar dalam membangun negri. Selain mempunyai jiwa religius, santri juga mempunyai jiwa nasionalis. Mengenai sejarah dan asal- usul kata “santri” ternyata ada beberapa versi. Salah satunya menyakini bahwa istilah santri berasal dari bahasa Sansekerta. Benarkah ?   

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “santri” setidaknya mengandung dua makna. Arti pertama adalah orang yang mendalami agama Islam, dan pemaknaan yang kedua adalah orang yang beribadah sungguh-sungguh atau orang yang saleh. Santri selama ini digunakan  untuk menyebut kaum atau orang-orang yang sedang atau pernah memperdalam agama Islam di pondok pesantren. Kata “pesantren” oleh sebagian kalangan diyakini sebagai asal-usul tercetusnya istilah “santri”. 

Kendati begitu, ada cukup banyak pendapat yang memaparkan kemungkinan sejarah atau asal-usul kata santri. Bahkan, tidak sedikit ahli meyakini bahwa tradisi nyantri sudah ada sejak sebelum ajaran Islam masuk Nusantara, atau dengan kata lain pada masa Hindu dan Budha. Salah satu versi mengenal asal-usul santri, seperti dikutip dari buku kebudayaan Islam Jawa Timur : Kajian beberapa unsur budaya masa peralihan (2001) karya M. Habib Mustopo, mengatakan  kata santri berasal dari bahasa Sansekerta.

Istilah santri menurut M. Habib Mustopo diambil dari salah satu kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu sastri yang artinya melek huruf atau bisa membaca. Versi ini terhubung dengan pendapat C. C. Berg yang menyebut santri berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama Hindu. Sansekerta merupakan bahasa liturgis dalam agama Hindu, Budha, dan ajaran jainisme, serta salah satu dari 23 bahasa resmi di India. Sansekerta pernah digunakan di Nusatara pada masa Hindu dan Budha yang berlangsung sejak abad ke-2 masehi hingga menjelang abad ke-16 seiring runtuhnya kerajaan Majapahit. Menurut Zamakhsyari Dhofir dalam buku tradisi pesantren (1985) yang ia kutip dari Karel A. Steenbrink  mendukung rumusan Berg dan meyakini bahwa pendidikan, yang kemudian lekat dengan tradisi edukasi Islam di Jawa , memang mirip dengan pendidikan ala Hindu di India jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya. Nurcholis Madjid lewat buku Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (1999) menautkan pendapat tersebut dengan menuliskan bahwa kata santri bisa pula berasal dari bahasa Jawa, yakni cantrik yang bermakna orang atau murid yang selalu mengikuti gurunya.

Ada pula yang mengaitkan asal-usul santri dengan kata-kata dalam bahasa Inggris, yaitu sun (matahari) dan three (tiga), menjadi tiga matahari. Dinukil dari tulisa Aris Adi Leksono bertajuk “Revitatalisasi Karakter Santri di Era Milenial” dalam NU Online, maksud tiga matahari itu adalah tiga keharusan yang harus dimiliki oleh seorang santri, yaitu Iman, Islam, Ihsan.

Sedangkan menurut Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA selaku PBNU, menurut dia santri adalah umat yang menerima ajaran-ajaran Islam dari para kyai. Para kyai itu belajar Islam dari guru-gurunya yang terhubung sampai Nabi Muhammad SAW. Beliau juga menambahkan santri menerima Islam dan menyebarkannya dengan pendekatan budaya yang berakhlakul karimah, bergaul dengan sesama dengan baik. Santri juga menghormati budaya, bahkan menjadikannya sebagai infrastruktur agama, kecuali budaya yang bertentangan ajaran Islam.

Dari banyaknya pengertian santri  yang saling menguatkan. Maka menurut saya  santri adalah pribadi yang menebarkan kedamaian kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja,  memiliki kecintaan yang luar biasa kepada tanah air karena cinta tanah air sebagian dari iman dibuktikan dengan mengamalkan kewajiban sebagai warga negara. Bukti real santri masa Pandemi ini  adalah dengan ikhtiar lahir dan batin.

 Ikhtiar lahir yang harus dilakukan adalah dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) mematuhi protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah, yaitu pakai masker ketika aktivitas di luar rumah, sering cuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer, social distancing, dan physical distancing, berolahraga,  berjemur, dan vitamin yang cukup.   Sedangkan ikhtiar santri secara batin adalah dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan wasilah atau amalan yang sudah diijazahkan oleh muassis (pendiri) NU yaitu Hadratysyekh KH. M Hasyim Asy’ari yang berbunyi :

Lii khomsatun uthfi bihaa harool wabaai haatimah…

Al-Musthofa wal murtadho wabna huma wa fathimah…

Artinya : “Saya mempunyai lima orang yang bisa menolak bala’, yaitu yang pertama, al-Musthafa (Nabi Muhammad SAW), yang kedua al-Murtadha (Ali bin Abi Tholib), dan kedua anaknya (Hasan dan Husain), serta yang kelima bernama Fathimah (putri Nabi Muhammad saw).”

Sholawat Li Khomsatun ini bisa dibaca kapan saja, tetapi ulama menganjurkan dibaca minimal  5 kali setelah sholat fardhu. Dan ijazah ini termaktub dalam kitab Malahiq fi Fiqh al-Dakwah al-Nur setebal 440 halaman karya al-Syaikh Badi’uzzaman Sa’id al-Nursi. Selain syair tersebut amalan lain yang dianjurkan adalah dengan membaca sholawat Thibbil Qulub (Obat hati) yang berbunyi :

Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammadin thibbil qulubi wa dawa-iha wa ‘afiyatil abdani wa syifa-iha wa nuril abshori wa dhiya-iha wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallim.”

Artinya: “Ya Allah curahkanlah rahmat kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sebagai obat hati dan penyembuhnya, penyehat badan dan kesembuhanya dan sebagai penyinar penglihatan mata beserta cahayanya. Semoga sholawat dan salam tercurahkan pula kepada keluarga serta para sahabat –sahabatnya.”

Berdasarkan berbagai sumber, sholawat thibbil Qulub ini digubah oleh seorang ulama Mesir yakni Syaikh Ahmad Ibn Ahmad Ibn Ahmad al-Adawiy al-Malkiy al-Khalawaty al-Dardir. Sholawat ini diterangkan dalam kitab Saadah al-Darain fi Shalat ‘ala Sayyid al-Kaunain di mana penulisnya Syaikh Yusuf Ibn Ismail menisbahkan sholawat Thibbil Qulub pada Syaikh al-Dardir.

Semoga dengan ikhtiar lahir batin ini kita diberi kesehatan. Dan siap menuju New normal dengan sistem tatanan kehidupan baru karena yang namanya virus ini menurut kesehatan  belum ada vaksin,  otomatis tidak bisa hilang. Untuk itu perlu ikhtiar lahir dan batin yang akhirnya menjadi iman, imun, aman, aamiin...

 

Kalidawir, 15 Juli 2020.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menangkal Digiseksual di Era Modern

  Oleh :  Imam Agus Taufiq  Munculnya Revolusi Industri pada tahun 1784 menuntut manusia untuk menciptakan berbagai hal yang mampu meringankan pekerjaan. Waktu silih berganti, seiring berjalannya jarum jam , revolusi industri terus mengalami perkembangan, bahkan saat ini   sampai pada revolusi industri 4.0. Realita   ini sangat menguntungkan bagi manusia   seiring   perkembangan teknologi yang semakin cepat melesat   membuat segalanya menjadi mudah. Manusia tidak perlu lagi bersusah payah dan dibuat pusing   dalam mengerjakan berbagai hal, karena semua pekerjaan telah diambil alih oleh teknologi. Revolusi Industri 4.0   memberikan banyak terobosan dalam teknologi di antaranya, komputer, gagdet , robot pintar, robotika, kecerdasan buatan atau AI ( Arificial Intelligence ), internet, kendaraan, dan lain sebagainya . Keterlibatan teknologi dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan manusia menjadi ketergantungan, di sisi lain teknologi juga memberikan pengaruh yang   besar dalam kehid

Usaha Berbuat Positif

Oleh: Imam Agus Taufiq Takwa yang biasa terdengar di telinga kita adalah usaha untuk selalu melaksanakan perintah Allah swt dan Rasulullah saw. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat Al Taghabun ayat 12 yang berbunyi: واطيعوا الله واطيعوا الرسول، فإن توليتم فإنما على رسولنا البلاغ المبين. "Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah swt dan Rasulallah, jika engkau berpaling maka sesungguhnya kewajiaban utusan hanya menyampaikan amanat Allah dengan jelas". Ayat tersebut menjelaskan kepada kita untuk selalu taat kepada Allah swt dan Rasulullah. Arti takwa di sini menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dari sabab musabab takwa inilah sumbernya keberuntungan dunia dan akhirat. Pekerjaan taat kepada Allah dan Rasulullah bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun. Apalagi di hari yang banyak kebaikannya yaitu hari Jumat. Harus kita ketahui bahwa Allah swt menjadikan hari Jumat, sebaik-baiknya hari bagi umat Islam. Salah satunya hari yang mulia yang disabdakan

Usaha Membangun Mood Menulis

  Oleh:  Imam Agus Taufiq Mengapa tidak menulis? Mengapa lama tidak menulis? Kiranya dua pertanyaan ini jika diajukan umumnya akan dijawab serupa, belum ada mood menulis. Solusi yang dilakukan adalah bagaimana membangun atau menciptakan mood menulis. Untuk menciptakan hal ini penting untuk menghadirkan atmosfer yang cocok untuk menulis.  Setiap penulis memiliki kebiasaan berbeda saat menulis. Misalnya seorang tokoh pahlawan nasional yang sudah banyak menelurkan banyak karya yaitu Tan Malaka di antaranya yang opus Magnum adalah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Tan Malaka menulis buku-bukunya dengan cara memanfaatkan jembatan keledai untuk mengingat apa yang kemudian ditulis.  Ketika masa kolonialisme Belanda, Tan Malaka menjadi pelarian bukan hanya pemerintah kolonial Belanda, namun juga pemerintah kolonial Inggris yang menguasai Malaya dan Singapura serta pemerintah Amerika Serikat yang menguasai Filipina. Dalam posisi dikejar-kejar inteljen pemerintahan kolonial tersebu