"Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan pada Allah SWT serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini, Katakanlah, Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi. Sesungguhnya kata seandainya akan membuka perbuatan setan." ( HR. Muslim).
Oleh : Imam Agus Taufiq
Kita sebagai manusia harus sadar apa yang kita lakukan di masa lalu. Untuk itu ambilah pelajaran dari masa lalu, sesalilah, tangisilah kebodohan-kebodohan dan kedurhakaan yang pernah kita lakukan di masa silam sebagai bentuk penyesalan dan pertanggung jawaban kepada Allah SWT. Dan dengan tangisan itu sebagai bentuk penggerak untuk menuju iman yang lebih bersih, ibadah yang lebih khusuk dan amal yang lebih baik. Bukan justru untuk membuat kita terkungkung di dalamnya. Perbuatan menyibukkan diri dengan berandai-andai justru akan menjadikan jiwa kita rapuh dan mental sakit.
Menyibukkan diri dengan kalimat pengandaian akan menjadikan pintu setan untuk masuk dan merusak iman, menghancurkan kekuatan ruhaniyah. Realita kehidupan rupanya jelas memberikan pelajaran kepada kita, seperti kasus-kasus depresi di mana seseorang kehilangan harapan dan sering kali menyalahkan Tuhan. Acap kali berkaitan erat dengan kecenderungan mengandai-andai masa lalu. Sibuk berandai-andai tentang masa lalu yang menyedihkan agar berubah menjadi membanggakan, sering menjadi penyebab keputusasaan yang sangat berat sebelum menghadapi tantangan nyata. Hal ini berakibat remuknya kekuatan menghadapi persoalan.
Ada masalah sedikit saja sudah menimbulkan keguncangan dahsyat bagi jiwa. Ada kesalahan sedikit yang ia lakukan, serta merta tak habis-habisnya menyalahkan Tuhan baik secara langsung atau tidak meskipun mereka mempunyai pengetahuan agama yang luas.
Berpijak pada hadits di atas, rupanya tak ada tempat bagi kita untuk menyibukkan diri dengan kata pengandaian "seandainya" atas sesuatu yang sudah terjadi. Tak ada manfaatnya mengenang masa lalu dengan sikap bodoh sibuk berandai-andai. Masa lalu tak pernah menjadi pelajaran, kecuali kita menyikapinya dengan pikiran yang jernih, jiwa tenang, hati bersih, sikap baik, dan perasaan ikhlas dalam menerima takdir. Memang terkadang kita tidak menggunakan kata pengandaian tetapi secara tak sadar, kita mengajarkan maknanya kepada anak-anak kita. Kita contohkan kepada mereka bagaimana menyibukkan diri mengandaikan masa lalu dan tidak ridha dengan sesuatu yang sudah terjadi.
Dan perlu diketahui juga, bahwa sibuk mengandaikan masa lalu juga menyebabkan anak-anak yang cerdas menjadi minder, anak-anak hebat patah semangaat, anak-anak kreatif kehilangan inisiatif. Bukan tidak mungkin mereka harus menjalani perawatan yang terus menerus. Mereka menjadi generasi lemah tak berdaya, generasi yang Allah perintahkan kepada kita agar mereka takut jangan-jangan meninggalkan dibelakang kita generasi yang seperti itu.
Lalu apakah mungkin orang tua mengajari anak berandai -andai, sementara kita tahu bahwa di dalamnya ada keburukan yang nyata? Sikap mental yang rawan terganggu pada anak, juga banyak diserap orang tua. Terkadang kita tidak menyadari, tetapi kita mengajari anak untuk berandai-andai dengan masa lalu ketika mata kita membelalak seraya berkata, "Bapak kan sudah berkata. Coba kalau kemarin ikut les, nilaimu pasti bagus. Kamu tidak kalah dengan temanmu."
Sekedar catatan, pengalaman yang sangat membekas dan memberi pengaruh kuat kepada anak untuk berandai-andai dengan masa lalu bukan masa depan banyak terjadi saat anak gagal mengikuti lomba. Termasuk dalam katagori gagal adalah mereka yang menjadi juara dua, juara tiga, juara harapan dan apabila tidak memiliki harapan menjadi juara.
Mereka yang menjadi juara dua dengan selisih nilai sedikit, justru lebih rentan mengalami sindrom "seandainya" karena orang tua, guru, serta orang-orang dekat lainnya seringkali lebih ekspresif dalam mengungkapkan kata "seandainya" sekaligus menyertai ucapan itu dengan menunjukkan kekecewaan yang berat.
Lebih baik anak kita larang mengikuti lomba. Atau mengikuti lomba lukis, tetapi bukan dalam rangka lomba melainkan sebagai kesempatan melukis bersama.
Anak-anak yang lemah jiwanya, seringkali juga berawal dari melihat seseorang yang sangat suka merutuk masa lalu. Mungkin karena faktor kecewa, tanpa sadar seorang bapak memaki masa lalu, "ah, bodoh...bodoh...seandainya saya tidak singgah, mungkin tidak begini jadinya."
Ah...jangan-jangan iman kita yang belum tertanam kuat dalam hati, sehingga tidak ridha terhadap takdir-Nya.
Kalidawir, 24 Juli 2020.
Komentar
Posting Komentar