Langsung ke konten utama

Ketika Aku Ingin Menjadi






Oleh : Imam Agus Taufiq



Anak adalah anugerah yang telah diberikan Allah kepada kita yang harus kita rawat dan didik dengan sebaik-baiknya. Anak juga merupakan titipan Allah yang harus dijaga dan dipersiapkan menjadi generasi penerus perjuangan kita. Teringat waktu dulu pernah nyantri ketika belajar ilmu tata bahasa arab bab Idhafah, ada sebuah nadham yang bisa diartikan bahwa anak adalah pengganti  dari segi kedudukan ketika orang tuanya sudah meninggal yang berbunyi :

ومايلى المضاف ياءتى خلفا # عنه فى الاعراب اذاماخذف

Sebagian besar orang tua sekarang ini merasa bahwa anak adalah kepunyaannya dan mereka punya kuasa penuh atas segala hal begitu juga berhak menjadikan anaknya seperti kemauannya. Realitas kehidupan yang sering kita jumpai, orang tua saling berlomba-lomba mengikutkan anaknya diberbagai macam kursus: kursus piano, melukis, menari, sepak bola dan lainnya. Apalagi di tengah kompetisi yang ditawarkan media masa dewasa ini, banyak orang tua berlomba-lomba mengikutkan anaknya diberbagai event tersebut. Mereka tak peduli dengan mengikutkan kursus harus merogok gocek lebih mahal dari pada iuran bulanan sekolah. 

Mereka bangga bila anaknya unggul dalam pelajaran di sekolah,  berhasil menjuarai sepak bola atau yang lainnya. Meraka mempunyai asumsi dengan mengikutkan anaknya  dengan berbagai macam kursus dapat mengantarkan menjadi orang sukses di masa datang. Seperti apakah keinginan anak yang sebenarnya ? Ingin jadi apa mereka? Menjadi adalah proses dimana seseorang butuh daya dan usaha yang maksimal. Kita tak bisa tinggal diam lalu kita bisa berubah menjadi seperti apa yang diinginkan. Butuh cara berfikir atau mindset tentang 'menjadi' itu harus dipikirkan dan dipertanyakan lagi.

Manusia adalah makluk yang sempurna yang dibekali jiwa karsa akal budi, pikiran, dan bisa berucap. Tak lain halnya anak yang dibekali Allah rasa ingin tahu yang tinggi. Sebuah semangat dan kemauan adalah hal mutlak dibutuhkan dalam proses menjadi. Tetapi hal itu jangan sampai menjadi proses yang salah. Yaitu hanya menjadi alat layaknya sebuah robot yang dipergunakan untuk visi dan ambisi orang tua yang salah kaprah. Salah kaprah bisa terjadi karena kesalahan mindset. Kesalahan ini karena sebagian orang tua hanya berpikir kepentingan duniawai yang  sesaat. Tanpa berfikir panjang apakah anak mereka kelak bisa menjadi anak yang berbakti dan ber-ahlaqul karimah berguna bagi kemaslahatan umat. Bahkan yang lebih penting adalah bagimana menjadikan anak selamat dunia dan akhirat. 

Menjadikan anak yang kuat bukan berarti ia harus berbadan besar, kekar, dan otot kuat seperti binaragawan yang dapat mengalahkan banyak orang. Tetapi orang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan diri di saat emosi. Menjadi anak cerdas bukan berarti ia dapat menjawab soal dalam ujian, menghafal rumus matematika, fisika, kimia di luar kepala, dan bisa hitung cepat dan tepat perkalian, pembagian, pengurangan, penambahan. Tapi orang cerdas adalah yang berfikir dan menyiapkan dirinya untuk kehidupan setelah mati.
الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت
Menjadi orang kaya, bukan berarti harus mempunyai banyak harta kekayaan melimpah ruah yang tidak habis sampai tujuh keturunan. Tetapi kaya di sini adalah kaya hati. 
"Tidaklah kaya itu banyak harta, melainkan kaya adalah kaya hati." (H. R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Menjadikan anak kuat, cerdas, kaya memang tidak salah. Tetapi mindset tentang kuat, pintar, kaya harus diperjelas. Harua senantiasa ditadaburi, diorentasikan kembali, serta tetap terus diproses menuju menjadi yang layaknya sejalan dengan tujuan diciptakan manusia sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an surat adz-Dariyat 51 :
وما خلقت الجن والانس الاليعبدون
"Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku"
Disamping itu mendidik anak untuk 'menjadi' merupakan amanah yang akan dipertanggung jawabkan setiap orang tua dihadapan Khaliqnya nanti. Bahkan keberadaan anak shalih atau sholikah merupakan pilar utama dan termasuk amal yang tak akan terputus pahalanya setelah manusia meninggal. Hal ini, semakin memantapkan orang tua dalam usaha menyiapkan anak menjadi anak sholih atau  sholikah.   Mindset ini harus terus dibangun dan dimiliki setiap orang tua. 


Menjadi apa pun seorang anak nanti, apakah dokter, guru, pelukis, pesepak bola dan sebagainya. Keimanan dan ketaqwaan harus menjadi modal utama. Sehingga mereka menjadi dokter yang sholih atau sholikah, selalu mengarahkan pasiennya untuk bertawakal akan kesembuahannya hanya kepada Alloh. Kita harus mengarahkan anak untuk menjadi orang yang dapat memberi manfaat kepada sesama, sesuai pesan Rasulullah SAW sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi lainya. Usaha dan do'a untuk mengarahkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan minat bakat asalkan tidak keluar dari aturan yang disyariatkan Allah SWT. 


Semoga dengan uswah khasanah, bimbingan, motivasi yang kita berikan kepada anak-anak, nantinya bisa menjadi orang shalih atau shalikah yang dapat berperan sesuai minat, bakat dan dapat memberi manfaat bagi manusia dan alam sekitarnya. Kususnya memberi kemanfaatan dan bisa mengantarkan kedua orang tuanya masuk surga karena amal kebaikan yang terus mengalir, serta do'a-do'a yang mereka panjatkan. Aamiin...



Kalidawir, 30 Juli 2020

 


Komentar

  1. Tugas berat dan tanggung jawab orang tua untuk mencetak anak menjadi generasi yang tangguh di masa depan. Tulisan yang menginspirasi.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menangkal Digiseksual di Era Modern

  Oleh :  Imam Agus Taufiq  Munculnya Revolusi Industri pada tahun 1784 menuntut manusia untuk menciptakan berbagai hal yang mampu meringankan pekerjaan. Waktu silih berganti, seiring berjalannya jarum jam , revolusi industri terus mengalami perkembangan, bahkan saat ini   sampai pada revolusi industri 4.0. Realita   ini sangat menguntungkan bagi manusia   seiring   perkembangan teknologi yang semakin cepat melesat   membuat segalanya menjadi mudah. Manusia tidak perlu lagi bersusah payah dan dibuat pusing   dalam mengerjakan berbagai hal, karena semua pekerjaan telah diambil alih oleh teknologi. Revolusi Industri 4.0   memberikan banyak terobosan dalam teknologi di antaranya, komputer, gagdet , robot pintar, robotika, kecerdasan buatan atau AI ( Arificial Intelligence ), internet, kendaraan, dan lain sebagainya . Keterlibatan teknologi dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan manusia menjadi ketergantungan, di sisi lain teknologi juga memberikan pengaruh yang   besar dalam kehid

Usaha Berbuat Positif

Oleh: Imam Agus Taufiq Takwa yang biasa terdengar di telinga kita adalah usaha untuk selalu melaksanakan perintah Allah swt dan Rasulullah saw. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat Al Taghabun ayat 12 yang berbunyi: واطيعوا الله واطيعوا الرسول، فإن توليتم فإنما على رسولنا البلاغ المبين. "Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah swt dan Rasulallah, jika engkau berpaling maka sesungguhnya kewajiaban utusan hanya menyampaikan amanat Allah dengan jelas". Ayat tersebut menjelaskan kepada kita untuk selalu taat kepada Allah swt dan Rasulullah. Arti takwa di sini menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dari sabab musabab takwa inilah sumbernya keberuntungan dunia dan akhirat. Pekerjaan taat kepada Allah dan Rasulullah bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun. Apalagi di hari yang banyak kebaikannya yaitu hari Jumat. Harus kita ketahui bahwa Allah swt menjadikan hari Jumat, sebaik-baiknya hari bagi umat Islam. Salah satunya hari yang mulia yang disabdakan

Usaha Membangun Mood Menulis

  Oleh:  Imam Agus Taufiq Mengapa tidak menulis? Mengapa lama tidak menulis? Kiranya dua pertanyaan ini jika diajukan umumnya akan dijawab serupa, belum ada mood menulis. Solusi yang dilakukan adalah bagaimana membangun atau menciptakan mood menulis. Untuk menciptakan hal ini penting untuk menghadirkan atmosfer yang cocok untuk menulis.  Setiap penulis memiliki kebiasaan berbeda saat menulis. Misalnya seorang tokoh pahlawan nasional yang sudah banyak menelurkan banyak karya yaitu Tan Malaka di antaranya yang opus Magnum adalah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Tan Malaka menulis buku-bukunya dengan cara memanfaatkan jembatan keledai untuk mengingat apa yang kemudian ditulis.  Ketika masa kolonialisme Belanda, Tan Malaka menjadi pelarian bukan hanya pemerintah kolonial Belanda, namun juga pemerintah kolonial Inggris yang menguasai Malaya dan Singapura serta pemerintah Amerika Serikat yang menguasai Filipina. Dalam posisi dikejar-kejar inteljen pemerintahan kolonial tersebu