Oleh : Imam Agus Tufiq
Manusia adalah makluk yang paling sempurna di antara makluk yang diciptakan
Allah SWT di muka bumi ini. Selain itu manusia juga sebagai kholifah di muka bumi. Sesuai yang ada di
kitab suci al-Qur’an bahwa manusia adalah mahkluk yang diciptakan Allah SWT paling sempurna
dibandingkan dengan makluk lainnya. Berbeda dengan makluk lainnya yang
diciptakan Allah SWT, manusia memiliki apa yang tidak dimiliki oleh makluk lain.
Manusia adalah makluk yang berucap, dan makluk yang mempunyai kemampuan
berpikir. Manusia dan hewan sama-sama memiliki otak, tetapi otak yang dimiliki
manusia dapat digunakan berpikir sabaik-baiknya, sedangkan hewan otaknya tidak
digunakan sebagaimana mestinya, manusia dapat berbahasa yang dapat saling
dimengerti. Maka sebutan manusia sebagai makluk sempurna sudah layak dan
semestinya harus kita rawat dan lestarikan.
Ada suatu kisah pada zaman dahulu, semua hewan memakai suara seperti
manusia. Tujuannya tidak lain adalah sebagai pembeda suara antara hewan dan
manusia, disepakati semua hewan diberikan waktu satu minggu untuk mencari
suaranya masing-masing. Tibalah hari
pertama semua hewan sibuk memikirkan suara apa yang paling cocok untuk dirinya.
Tapi ada satu hewan, yaitu si burung Beo
yang justru sibuk menonton dan mengomentari bahkan menertawakan suara-suara
yang dicoba hewan lain.
Ketika sang Singa bersuara
“auummm”, si burung Beo menertawakannya, seperti orang sakit gigi katanya. Ketika si Bebek bersuara “wek…wek”,
si burung Beo tertawa, seperti orang terkena injak katanya. Begitu seterusnya,
si burung Beo sibuk mengomentari suara-suara hewan lain. Sampai batas waktu yang ditentukan seminggu berlalu. Dan tibalah waktu penentuan suara masing-masing hewan pun
dilakukan.
Semua hewan mengeluarkan suara khasnya masing-masing hingga tiba giliran
si burung Beo. Ia pun bersuara “embek…embek”. Si Kambing memprotesnya karena
itu sudah jadi suaranya. Kemudian si burung Beo bersuara “petok…petok”. Si Ayam
pun juga memprotes karena itu adalah
suaranya. Karena kehabisan suara akhirnya si burung Beo hanya bisa menirukan
suara manusia dan menjadi bahan tertawaan. Hal itu semua disebabkan karena si
burung Beo selama ini sibuk menjadi komentator suara hewan lain. Sehingga si
burung Beo sendiri tak menghasilkan
suara apa pun.
Dari kisah diatas, menurut saya realitas kehidupan di sekitar kita
banyak sekali orang-orang yang asyik dan enjoinya menjadi komentator terkait
karya orang lain. Bisanya hanya mencemooh, mencela, dan menyalahakan orang lain
tanpa sadar bahwa dirinya tidak berbuat apa-apa dan tidak
menghasilkan apa pun. Tanpa mencoba dengan proses panjang sudah menghakimi
dengan seenaknya dan tidak sewajarnya. Dia tidak sadar bahwa semua itu butuh
proses panjang tidak serba instan dan kenikmatan sesaat.
Hidup hanya sekali. Sudah selayaknya kita manifestasikan dalam hidup ini
dengan aksi positif. Keberartian hidup sangatlah penting untuk kita saat ini
dan nanti. Menjadikan hidup bermakna tanpa melihat posisi pangkat, jabatan,
bahkan pekerjaan kita itu lebih penting.
Karena saat kita meninggalkan dunia, yang tersisa hanyalah keberartian
dalam hidup ini. Keberartian dalam ilmu yang bermanfaat, dan amal jariyah.
Percuma dan tak berguna kita punya segala-galanya dari harta kekayaan, rumah
mewah, kendaraan, perhiasan emas tanpa
digunakan aksi positif yang mempunyai
nilai kebermanfaatan kepada orang lain atau jamaah.
Mulailah dari sekarang menjadi pemain yang sibuk menghasilkan karya dan
produk kebaikan yang terbaik. Segeralah aksi jangan sampai menunda-nunda waktu.
Segeralah berbuat sesuatu yang berarti, karena waktu tak akan kembali. Waktu
ibarat pedang, bagi mereka yang tidak bisa mengoptimalkan waktu maka akan
terhunus oleh pedang tersebut. Karena waktu tidak pernah kembali. Kemarin
hanyalah mimpi, catatan sejarah yang bisa kita ambil pelajaran. Besok tidak ada
satu pun yang mengetahui kecuali harapan. Maka lakukanlah aksi sekarang juga
dengan kerja keras, tuntas, cerdas, dan ikhlas. .
Kalidawir,
22 Juli 2020.
Mantap
BalasHapusMakasih bu !
BalasHapusMakasih bu !
BalasHapus